Kamis, 13 September 2012

puisiku yang menjadi juara 1 lomba penulisan puisi PEKSIMIDA JATENG tahun 2012


Aku masihlah Indonesia[1]
            : Catatan Buat Emak
1/
Di hari kesekian, tanggal kesekian, bulan kesekian, dan tahun kesekian
Aku masihlah Indonesia, mengenalkan diri dengan dada membusung
Menanggalkan duka yang sesak di dada, meski detak degub jantungku kini lebih rintih dari
Biasanya, yah, akulah Indonesia, dan orang-orang menodong kepalaku sambil
Berkata “malu aku jadi bangsa Indonesia !!!”, tapi tidak denganku, Emak.
Aku ingat dongeng-dongeng yang kau jadikan pengantar tidurku setiap malam
Tentang teriakan-teriakan rakyat pribumi yang mengemis kemerdekaan, tentang
Airmata yang menggenangi pertiwi, tentang bau anyir darah yang keluar dari
Tubuh-tubuh penuh nganga luka.
Emak, ceritamu itu membuatku merinding, betapa besar pengorbanan para leluhur negeri
Yang telah menuliskan sejarah dengan darah yang mereka sumpat dari urat nadi mereka,
Dalam lembaran-lembaran hari yang penuh nestapa.
Emak, ini salah siapa? Jika negeri tak lagi seperti sediakala.

2/
Sepertinya negeri ini negeri airmata, Emak. Betapa duka menjadi penggalan paling
dramatis dari kesekian fragmen hidup kita, Emak. Betapa nasionalisme hanya bersarang di
buku-buku sejarah Pendidikan Dasar.  Betapa hukum-hukum agama hanya tersampul
pada pengajian-pengajian dari masjid ke masjid, dari gereja ke gereja, dari kuil ke kuil,
dari vihara ke vihara, dari klenteng ke klenteng.
Selebihnya hanya sebagai ideologi saja, tanpa ada wujud dalam laku dan kata.
Emak, aku sakit ketika membaca berita-berita yang menjadi headline di koran-koran,
tentang airmata yang tak berkesudah,  airmata pengemis yang hidupnya selalu saja tragis,
airmata pedagang yang lapaknya digusur habis, airmata si miskin yang hidupnya selalu miris,
airmata para pekerja di negara tetangga yang sepulang bekerja pastilah membawa tangis,
juga airmata orang-orang  yang tersaingi para penguasa kapitalis, para petani yang
lahannya dirampas pengauasa agraris, dan keresahan negeri
yang selalu ditebar para teroris.
Emak, adakah yang lebih perih dari kesakitan ini? melihat negeri menjadi sedemikian ngeri.
Orang-orang berorasi di depan gedung-gedung pemerintahan tentang revolusi, tapi rasa
Cinta kepada negeri saja mereka tak mengerti.
Emak, kenapa pula teka-teki di halaman belakang koran itu makin saja misteri?
tentang masa depan yang tak mampu diterawang. Kenapa pula orang-orang lebih suka
membaca ramalan bintang?
Apakah mereka tak lagi percaya kepada Tuhan?

3/
Emak, aku merasakan Indonesia seperti anak kecil yang baru belajar menulis,
yang hanya memiliki sebuah pensil, lalu ketika ada coretan di lembaran hidupnya,
maka meminjam penghapus ke sana-ke mari kepada yang lain. Dan jika tulisan itu telah
diselesaikannya, ia terbata-bata membacanya. lalu seorang guru dari Negeri tetangga
membantu mengajarinya cara mengeja,
oh emak...seperti itukah Indonesia saat ini?
Rumah kita yang beratapkan langit biru menjulang seantara Sabang hingga Merauke,
Dengan dinding kebudayaan yang amatlah beragam, yang jika ada tetangga kita mengakui
Memilikinya, mereka—orang-orang yang pandai berorasi itu—langsung naik pitam
dan seolah-olah berjuang mengambilnya, dengan nasionalisme yang bersarang
pada bibir-bibir mereka semata.
Juga dengan hamparan rumput hijau menjadi alas tempat pembaringan kita,
tempat bersujud  dengan Segenap doa di dada. Tempat kita memacu jantung
dengan harapan yang kita tanam selama ini, Emak.

4/
Emak, aku ingat pesanmu, dahulu, ketika kita masih bisa mencangkuli ladang-ladang
kita dengan harapan, Menanam biji-biji padi di sawah-sawah di belakang rumah kita
dengan doa, yang kini berdiri bangunan-bangunan tinggi menjulang,
mencakar langit, hingga mengucurkan hujan yang
aroma anyir, seperti darah yang perlahan keluar dari nadi-nadi rakyat-rakyat miskin.
“nak, besok tak ada lagi anak-anak yang bercanda riang di sini
Menerbangkan layang-layang dengan wajah penuh tawa”, katamu.
Dan saat aku bertanya, “kenapa emak?”, kau tak juga menjawab,
kau hanya membelai rambutku
Dan sesekali gerimis jatuh dari mata sayumu, aih, Emak.
Ataukah kini ucapmu benar-benar nyata?

5/
Di hari kesekian, tanggal kesekian, bulan kesekian dan tahun yang juga masih kesekian
Aku masih juga Indonesia, Emak. jika diperkenankan semesta, maka, akupun akan berteriak
“kembalikan Indonesia kepadaku!!!” sebagaimana yang dikatakan Taufik Ismail
dalam puisinya yang aku baca di buku Bahasa Indonesia belasan tahun lalu, Emak.
Meski pada akhirnya, aku terpojokkan kepada pertanyaan sulit, sebenarnya siapa yang
Merebut Indonesia dari kita, Emak?
Bukankah mereka sendiri kini tak pernah mengawali tidur dengan dongeng-dongeng
sejarah? Bagaimana mereka tahu kalau negeri ini bukanlah negeri mimpi?

6/
Emak, sejarah memanglah setumpuk daun-daun kering yang memenuhi
pelataran masa silam, yang selalu kita mencoba menyapunya dengan airmata,
tetapi waktu berbicara sesuai apa yang ia  kehendaki, biarpun berlawanan dengan apa
maumu-mauku, waktu tetaplah berbicara lantang
Hingga, pada akhirnya kita terbungkam saat semesta menyenandungkan sabda,
Dan kita tak mampu juga menerjemahi harakatnya, Emak.
Tapi, sejarah juga setumpuk telur yang jika kita erami dengan segenap doa,
maka akan menetas harapan dari rahim malam. Sebelum usai kau membacakan
cerita-cerita pengantar tidur,
Sebelum aku beranjak menengadahkan doa dalam sembahyang.

7/
Emak, jika burung-burung masih mengicaukan kesedihan negeri,
maka lebih baik kututup saja sangkar dalam batinku ini, untuk berteriak memekakan
semesta, tentang kebahagiaan yang masih bias warnanya,
Lantas kita punguti daun-daun yang jatuh di pelataran rumah kita,
dan kita menenunnya dengan air mata, lalu kita buat layang-layang darinya,
kita terbangkan, agar cakrawala
Mendengar rintih doa yang belum ada jawabnya.
Aku akan ikhlas menjadi batu-batu di sungai kepedihan, yang tetap menemani lumut
Kesetiaan menunggui arus menyudahi langkahnya, hingga mimpi kita tentang negeri ini
akan bermuara kapada Laut yang sering kau kisahkan padaku,



8/
Emak, aku ingin menjelma kata-kata dalam bait-bait lagu perjuangan, agar setiap
Anak-anak sekolah menyanyikannya, aku merasakan indahnya kesakitan karena cinta,
Biarlah, airmata tetap sebagai airmata,
Untuk negeri ngeriku, Indonesia.

                                    Pondok Pena, 21 Mei 2012.


[1] Puisi ini menjadi Juara 1 dalam Peksimida XI tangkai lomba penulisan puisi, yang diadakan oleh Badan Pembina Seni Mahasiswa Indonesia (BPSMI) Jawa Tengah tahun 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar