Aku masihlah
Indonesia[1]
: Catatan Buat Emak
1/
Di hari
kesekian, tanggal kesekian, bulan kesekian, dan tahun kesekian
Aku masihlah
Indonesia, mengenalkan diri dengan dada membusung
Menanggalkan
duka yang sesak di dada, meski detak degub jantungku kini lebih rintih dari
Biasanya,
yah, akulah Indonesia, dan orang-orang menodong kepalaku sambil
Berkata
“malu aku jadi bangsa Indonesia !!!”, tapi tidak denganku, Emak.
Aku ingat
dongeng-dongeng yang kau jadikan pengantar tidurku setiap malam
Tentang teriakan-teriakan
rakyat pribumi yang mengemis kemerdekaan, tentang
Airmata yang
menggenangi pertiwi, tentang bau anyir darah yang keluar dari
Tubuh-tubuh
penuh nganga luka.
Emak,
ceritamu itu membuatku merinding, betapa besar pengorbanan para leluhur negeri
Yang telah
menuliskan sejarah dengan darah yang mereka sumpat dari urat nadi mereka,
Dalam
lembaran-lembaran hari yang penuh nestapa.
Emak, ini
salah siapa? Jika negeri tak lagi seperti sediakala.
2/
Sepertinya
negeri ini negeri airmata, Emak. Betapa duka menjadi penggalan paling
dramatis
dari kesekian fragmen hidup kita, Emak. Betapa nasionalisme hanya bersarang di
buku-buku
sejarah Pendidikan Dasar. Betapa hukum-hukum
agama hanya tersampul
pada
pengajian-pengajian dari masjid ke masjid, dari gereja ke gereja, dari kuil ke
kuil,
dari vihara
ke vihara, dari klenteng ke klenteng.
Selebihnya
hanya sebagai ideologi saja, tanpa ada wujud dalam laku dan kata.
Emak, aku
sakit ketika membaca berita-berita yang menjadi headline di koran-koran,
tentang airmata
yang tak berkesudah, airmata pengemis
yang hidupnya selalu saja tragis,
airmata
pedagang yang lapaknya digusur habis, airmata si miskin yang hidupnya selalu
miris,
airmata para
pekerja di negara tetangga yang sepulang bekerja pastilah membawa tangis,
juga airmata
orang-orang yang tersaingi para penguasa
kapitalis, para petani yang
lahannya
dirampas pengauasa agraris, dan keresahan negeri
yang selalu
ditebar para teroris.
Emak, adakah
yang lebih perih dari kesakitan ini? melihat negeri menjadi sedemikian ngeri.
Orang-orang
berorasi di depan gedung-gedung pemerintahan tentang revolusi, tapi rasa
Cinta kepada
negeri saja mereka tak mengerti.
Emak, kenapa
pula teka-teki di halaman belakang koran itu makin saja misteri?
tentang masa
depan yang tak mampu diterawang. Kenapa pula orang-orang lebih suka
membaca
ramalan bintang?
Apakah
mereka tak lagi percaya kepada Tuhan?
3/
Emak, aku merasakan
Indonesia seperti anak kecil yang baru belajar menulis,
yang hanya
memiliki sebuah pensil, lalu ketika ada coretan di lembaran hidupnya,
maka
meminjam penghapus ke sana-ke mari kepada yang lain. Dan jika tulisan itu telah
diselesaikannya,
ia terbata-bata membacanya. lalu seorang guru dari Negeri tetangga
membantu
mengajarinya cara mengeja,
oh emak...seperti
itukah Indonesia saat ini?
Rumah kita
yang beratapkan langit biru menjulang seantara Sabang hingga Merauke,
Dengan dinding
kebudayaan yang amatlah beragam, yang jika ada tetangga kita mengakui
Memilikinya,
mereka—orang-orang yang pandai berorasi itu—langsung naik pitam
dan
seolah-olah berjuang mengambilnya, dengan nasionalisme yang bersarang
pada
bibir-bibir mereka semata.
Juga dengan hamparan
rumput hijau menjadi alas tempat pembaringan kita,
tempat
bersujud dengan Segenap doa di dada.
Tempat kita memacu jantung
dengan harapan
yang kita tanam selama ini, Emak.
4/
Emak, aku
ingat pesanmu, dahulu, ketika kita masih bisa mencangkuli ladang-ladang
kita dengan
harapan, Menanam biji-biji padi di sawah-sawah di belakang rumah kita
dengan doa,
yang kini berdiri bangunan-bangunan tinggi menjulang,
mencakar
langit, hingga mengucurkan hujan yang
aroma anyir,
seperti darah yang perlahan keluar dari nadi-nadi rakyat-rakyat miskin.
“nak, besok
tak ada lagi anak-anak yang bercanda riang di sini
Menerbangkan
layang-layang dengan wajah penuh tawa”, katamu.
Dan saat aku
bertanya, “kenapa emak?”, kau tak juga menjawab,
kau hanya membelai
rambutku
Dan sesekali
gerimis jatuh dari mata sayumu, aih, Emak.
Ataukah kini
ucapmu benar-benar nyata?
5/
Di hari
kesekian, tanggal kesekian, bulan kesekian dan tahun yang juga masih kesekian
Aku masih
juga Indonesia, Emak. jika diperkenankan semesta, maka, akupun akan berteriak
“kembalikan
Indonesia kepadaku!!!” sebagaimana yang dikatakan Taufik Ismail
dalam
puisinya yang aku baca di buku Bahasa Indonesia belasan tahun lalu, Emak.
Meski pada
akhirnya, aku terpojokkan kepada pertanyaan sulit, sebenarnya siapa yang
Merebut Indonesia
dari kita, Emak?
Bukankah
mereka sendiri kini tak pernah mengawali tidur dengan dongeng-dongeng
sejarah?
Bagaimana mereka tahu kalau negeri ini bukanlah negeri mimpi?
6/
Emak,
sejarah memanglah setumpuk daun-daun kering yang memenuhi
pelataran
masa silam, yang selalu kita mencoba menyapunya dengan airmata,
tetapi waktu
berbicara sesuai apa yang ia kehendaki,
biarpun berlawanan dengan apa
maumu-mauku,
waktu tetaplah berbicara lantang
Hingga, pada
akhirnya kita terbungkam saat semesta menyenandungkan sabda,
Dan kita tak
mampu juga menerjemahi harakatnya, Emak.
Tapi,
sejarah juga setumpuk telur yang jika kita erami dengan segenap doa,
maka akan
menetas harapan dari rahim malam. Sebelum usai kau membacakan
cerita-cerita
pengantar tidur,
Sebelum aku
beranjak menengadahkan doa dalam sembahyang.
7/
Emak, jika
burung-burung masih mengicaukan kesedihan negeri,
maka lebih
baik kututup saja sangkar dalam batinku ini, untuk berteriak memekakan
semesta,
tentang kebahagiaan yang masih bias warnanya,
Lantas kita
punguti daun-daun yang jatuh di pelataran rumah kita,
dan kita
menenunnya dengan air mata, lalu kita buat layang-layang darinya,
kita
terbangkan, agar cakrawala
Mendengar
rintih doa yang belum ada jawabnya.
Aku akan
ikhlas menjadi batu-batu di sungai kepedihan, yang tetap menemani lumut
Kesetiaan menunggui
arus menyudahi langkahnya, hingga mimpi kita tentang negeri ini
akan
bermuara kapada Laut yang sering kau kisahkan padaku,
8/
Emak, aku
ingin menjelma kata-kata dalam bait-bait lagu perjuangan, agar setiap
Anak-anak
sekolah menyanyikannya, aku merasakan indahnya kesakitan karena cinta,
Biarlah,
airmata tetap sebagai airmata,
Untuk negeri
ngeriku, Indonesia.
Pondok Pena,
21 Mei 2012.
[1]
Puisi ini menjadi Juara 1 dalam Peksimida XI tangkai lomba penulisan puisi,
yang diadakan oleh Badan Pembina Seni Mahasiswa Indonesia (BPSMI) Jawa Tengah
tahun 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar