Kamis, 13 September 2012

Episode Airmata II


Aku ingin menangis di pelukanmu.
                ; Violet

Aku ingin menangis di pelukanmu, katamu padaku.
Di sebuah ruangan  yang sangat dingin dan sepi. Karena hanya ada aku, kau dan airmata.
Kita bercerita tentang hujan yang tak juga melahirkan pelangi padahal matahari masih
Terbit dari balik bukit di dadamu.
Matahari itulah yang mambuatku selalu hangat setiap kali di sampingmu.
Mendekapmu, dan sesekali kau memberikan ciuman singkat di pelipis waktu.

Vi, kau kenapa? Tanyaku padamu
Sembari menyapu gerimis yang membasahi pipimu
Membentuk anak sungai kecil, dan matamu berbinar.
Kerudung ungumu berkibar karena angin mencoba menghibur hatimu yang galau,
Akh tidak, tapi hati kita, karena kau dan aku masih merasakan sisa kesakitan yang dulu,
Yah, dulu sekali, saat almanak masih mendetakkan cinta kita, dan kita diminta menunggu detik-detik
yang mendenyutkan rindu kita, di sebuah ruang tunggu, di sebuah penggalan episode paling
 dramatis. Paling puisi.

Seandainya waktu tak merenggut kisah cinta kita.  Katamu memenggal sepi,
Akh, aku tak mampu menjawabnya. Kata-kata yang telah kususun
Seketika itu berjatuhan dari bibirku,
Lalu kau tegarkan aku dan kau punguti kata-kata itu,
Dan kau buatkan puisi darinya
Dan kau bacakannya di hadapku
Dan aku menangis
Dan kau pun menangis
Dan kita berpura tegar
Dan kita berpelukan.

Hujan turun dengan sempurna. Ruangan masih sepi,
Hanya ada aku, kau dan airmata,
Akh, tidak masih ada satu yang belum kau sebutkan. Katamu lirih
Apa? Tanyaku sambil mengusap kerudungmu yang basah karena hujan
Dan pipimu yang basah karena airmata.
Puisi. Yah puisi yang dulu memepertemukan kita
Di tikungan waktu. Saat hari-hari hanya milik kita, dan kita basah-basahan dalam hujan.
Puisi itu kini datang dan menancap di hati ini.
Maukah kau mencabutnya dan  membacakannya untukku? Untuk kali terakhir,
Sebelum kita benar-benar berpisah selamanya. Sebelum waktu menuruti keegoisannya.

Lalu, airmata menyeret tubuhmu dari dekapanku.
Kau menjauhiku, padahal puisi belum usai kubacakan.
Dan kau berlari sekencang-kencangnya,
Dan aku tahu kau masih menangis,
Dan aku berteriak di dalam diam
Dan aku memanggil-manggil namamu dengan airmarta Yang segerra luruh bersama hujan,
membasahiku, dan menenggaelamkanku dalam sunyi yang paling.

Vi, aku ingin menangis di pelukanmu. Sungguh.

Senja, 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar