Kamis, 13 September 2012

Dua Puisiku yang dimuat di Satelit Post, minggu 22 April 2012


Aku mencintaimu  tanpa berharap semesta tahu

Aku mencintaimu  tanpa berharap semesta tahu,
Biarlah angin pagi yang kan menerbangkan butiran-butiran rindu
Lalu, membuat kisah kita makin mekar dan mewangi.
Serupa bebungaan di pelataran hati kita,Setiap pagi
Embunnya menggutasi, membasahi kaki-kaki kita yang telanjang
Menekuri setiap jalan-jalan becek. Hujan sesekali menepi di ujung rambut panjangmu,
Kau memintaku mengikatnya, dan  matahari cemburu. Berhenti memberi energi kepada
Daun-daun yang kehausan, tersebab sedari malam hingga fajar datang mimpinya tak juga
Mampu diterjemahi. Lalu aku mengajakmu membuka kamus-kamus yang telah lama tidak kita buka, yang
Mengusang bersama cerita-cerita lama. Tentang sawah-sawah di belakang rumah kita.
Tentang rerumputan. Tentang padang ilalang. Tentang rembulan. Dan tentang malam yang kabut.
Kau sesekali menanyakan cinta ini, harus dengan apa aku menjelaskannya, kekasih.
Bila pelangi yang kutebar di langit senja, mampu kau tangkap dan menjadi sebuah puisi,
Dan setiap malam, kau meronta, memintaku membacakannya untukmu. Sebagai pengantar tidur ! Katamu.
Sayang, semesta mau berbuat apa? Tentang aku, tentang kau, tentang waktu
 yang kita lalui bersama?
Bermain layang-layang, basah-basahan dalam hujan, bertukar bebunga di taman.
Barangkali lewat catatan ini, kau tak lagi memintaku berteriak sepanjang jalan menuju rumahmu,
yang begitu menanjak dan berliku. Begitu sunyi dan rahasia. Aku tahu sayang,
 kekasih mana yang merelakan
rindunya patah? Merpati selalu kuterbangkan setiap pagi, dengannyalah aku titipkan
sketsa kerinduan yang amat menyiksa. Harap-harap cemas hati ini menunggu jawaban dari
wajahmu.
Maka, aku hanya akan mengatakan
; aku mencintaimu tanpa berharap semesta tahu.
                                    Pondok pena, 2012.
Mengeja gerimis

Gerimis mencubit-cubit mukaku
Sore itu, di sebuah halte
Dimana engkau memastikan kehadiran terang.
Yang nyatanya bayangannya saja enggan menghinggap
Di kepalaku.
Barangkali aku terlalu bodoh untuk ini,
 daun kehilangan
Sayap. Hanya angin yang melintas dihadapanku
Membawa sabda.
Dan aku tak mampu membaca kharakatnya.

Senja,16 maret 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar