Kamis, 13 September 2012

Episode Air Mata IV


Izinkan Aku Menangisi Airmatamu

/1/
Zah, Aku ingat pertemuan kali pertama kita, di sini.  Sepetak ruang yang teramat sesak udaranya. Bangku-bangku bungkam, atap diam, daun pintu sesekali berderik, karena angin pagi menyentuhnya perlahan. Angin itu jugalah yang terkadang menyibak rambut panjangmu, dan kau bergegas membenarkannya lagi. Aih, aku tak pernah melupakan itu.
/2/
Kali ini, kau datang dengan nuansa yang berbeda. Ada embun yang menggelayut di matamu, sepertinya terlampau banyak kata-kata yang ingin kau utarakan,  ruangan sepi, hanya ada aku, kau dan sepotong rindu. Langit mendung, meski matahari masih terbit di balik senyummu, tapi aku sama sekali tak menerima pancaran yang sedikit melegakan nafasku.
/3/
Tiba-tiba, matamu berkaca-kaca, aku ingin menyekanya, tetapi saputangan terlebih dahulu menjangkau wajahmu, aku diam, bangku-bangku masih juga terbungkam, lantai teramat dingin, sementara di balik jendela sepasang burung pipit berkejaran di atas pohonan, daun-daun berguguran seketika itu, memenuhi ingatan kita tentang masalalu, yang sering kita coba menyapunya dengan airmata, agar kenangan tak lagi berserakan dan menjadi duka.
/4/
Dalam sunyi yang debar, aku bisa menghitung jumlah denyut jantung kita yang bersaut, sesekali detak jarum jam dan dercak cicak menyela di antara mata kita yang saling bertatap, sementara mulut kita masih saja diam, hanya airmata yang bicara lewat tepian mata sayumu itu, dan menghujani pipimu, menjadi anak sungai kecil, dan aku menjadi bagian dari batu-batu yang dibungkam lumut waktu, merasakan betapa banyak nestapa yang ingin kau alirkan dari matamu itu.
/5/
Tanpa kusadari, airmata kita sama banyak, ruangan masih saja sepi, aku berteriak dalam diam, dan kau bercerita dengan isak. Lalu kau mendekapkan tubuhmu ke dadaku, kucoba mengusap rambutmu pelan, detak jantung kita menyatu, dan kutitipkan cintaku di keningmu.

; Izinkan aku menangisi airmatamu, Zah.

Pondok Pena, 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar