Rabu, 26 Oktober 2011

PUISI Romantis


Janji

Saat langit mengelupas
Kau temui aku didalamnya
Bersama serpihan cahaya yang
Bangkit dari masa lalu

Kita memetik hari-hari
Dalam berderang langit

Senja,2010

Pupus

Di pintu fajar yang mawar
Kutemui bekas langkah yang
Tak lagi menjajar.
Lalu rintik hujan
Jatuh membasahi mukanya
Menggenang;membawa
Hilang bayang.

Senja,17 n0p 2010



Senja terakhir

Sepucuk mawar yang  tanggal
Di tepian pintu senja
Kelopaknya gontai
Bertaburan, meninggalkan
Cahaya yang
Tengah padam.

Senja,17 nop 2010

Semoga

Kuarung-arungi sajalah
Garis airmu,
Lantas dayung mencukupi arusnya,,
Hingga sampan tak
Lagi tertahan untuk melabuhkan tuannya,
Kau dan aku
Berdoa dalam semoga.

Senja,10.12.2010,




Ingin

Izinkan aku membaca puisi yang tertulis dijilbabmu,
Yang kata-katanya mencahaya
Mata tajammu,
Nyampai bibirku layu,
Semua rindu kan lebur dalam lagu.

Senja,8des2010
Rindu

Dua purnama tanpa lilin
Nafasku terasa terisak
Sebab cahaya tak mampu aku temui
Di dalam Rindu

Senja,Jan2011
DO’A

Di tepian  senja,aku menanti
Ombak  menyapu  bayang
Agar sampai aku  pada cahaya.

Senja,Jan2011





Dzikir Bunga

Seusai sembahyang embun
Aku bersujud di atas rerumputanMu

 Hujan datang  mengusap mukaku
Dan  kutemui:Wajahku
 Telah menyatu dengan cahayaMu
Yang berbunga

Senja,Jan2011
Sebuah penantian

Anganku berlari-lari kecil
Menerobos awan, mengajak angin
Terbang ke sana ke mari
Mencari bayangan kekasih.

Senja ,2011
Meditasi katak

Dalam hujan yang tak berangin,
Seekor katak berdiam dalam pesujudan panjang
Menunggui pelangi yang belum juga
Menampakkan batang hidungnya
Dan saat air menetes di kelopak matanya
Ia masih dalam diam
Bahkan, mengencangkan tasbihnya.

Senja,2011



Di ujung perjumpaan

Sebab angin yang datang
Begitu kencang
Selembar daun terlepas dari dekapan
Dahan
Menyisakan getah
Yang masih basah.

Senja, feb 2011
Namamu

Dalam gerimis yang anginnya
Terkikis rindu,
Do’a  turut hadir
Menggeliat dalam sunyi,yang
Heningnya mengingatkan namamu.

Senja,feb 2011








Lingkar cahaya

Dalam lingkar cahaya,yang
Sungai mengalir di tepiannya.
Aku melihat seyum do’a di dalam
Matamu yang berbinar.

Senja,feb2011


Sabda Angin

Daun-daun seketika itu menjadi kering,
 Menamatkan riwayat ke pangkuan bumi.
 Menunggu hujan yang jatuh
Merintikkan doa.

Senja,feb2011

Penggembala kata

Sudah berpuluh kali ku terangkan
Aku bukanlah seorang pangeran
Yang selalu sembahyang
Dengan doa berpanjang-panjang.

Aku hanyalah seorang penggembala kata
Siang, sore aku mencari-cari abjad
Untuk kubawa tidur, di dalam sajak

Senja, feb 2011.




epilog

Seusai hujan tumbang, aku
Menyaksikan senja
Tengah berpelukan dengan cahaya.

Senja, maret 2011




Di pertengahan jalan
menuju hatimu

Kembali aku mengikuti garis airmu
Agar usai terik ini pada penghabisan.
Hingga langit akan
Mengurai senyum
Melihat awan yang tak lagi gersang.

Senja, maret 2011



Rongeng Dukuh Paruk; Antara Mitos dan Pesan Dalam Sastra
Banyak definisi sastra tatkala masing-masing sastrawan mencoba memberi makna terhadap proses kreatifnya sebab karya sastra mewujud dikarenakan semacam “laku” seorang sastrawan. Ia inheren dengan proses hidup sastrawan, karenanya ketika dalam hidupnya terjadi perubahan makna dari peristiwa yang diindera olehnya, dengan begitu makna yang pernah dikemukakan akan mengalami perubahan atau perkembangan. Sama halnya dengan definisi kebudayaan, selalu dimulai dan diakhiri dengan proses. Itulah pasalnya, kita belajar untuk mau mengerti, bahkan menilai baik, terhadap perubahan yang bermakna perkembangan dari karya sastra satu ke karya sastra yang lain, yang merupakan buah seorang sastrawan.
Karya sastra dapat kita persepsi dan posisikan sebagai suatu yang hidup dan bersentuhan dengan realitas sosialnya, dan merupakan bagian penting dari kebudayaan jamannya. Itulah yang dilakukan Ahmad Tohari, melalui karya sastranya, membahasakan pengamatannya—mengenai kebudayaan—dengan jalan tulisan. Ini seperti yang dikatakan A. Teeuw Bahwa sastra dikembalikan kepada makna etimologisnya adalah tulisan.  Kemudian mengingatkan saya pada Seno Gumira Ajidarma dalam bukunya berjudul Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara (1997) mengatakan bahwa menulis—sebagaimana yang dilakukan Tohari—merupakan suatu cara untuk bicara, suatu cara untuk berkata, suatu cara untuk menyapa—suatu cara untuk menyentuh seseorang yang lain entah dimana (Seno,1997:110).
Ahmad Tohari dalam karya-karyanya baik cerpen maupun novel, memiliki latar lingkungan hidup. Dunia pedesaan yang lugu, kumuh, bodoh, dan alami oleh Tohari diungkap secara menarik dan provokatif sehinga menunjukkan adanya keindahan, kedamaian, keharmonisan dan kejujuran sekaligus kepedihan yang menyayat, pemberontakan, konflik dan perdamaian.
Meski kebanyakan karya Tohari memiliki latar alam dan kehidupan desa, tetapi menurut Sapardi Djoko Damono bisa saja dunia ciptaan Tohari itu menjadi bagian yang sah dari kebudayaan Populer, sama dengan karya sastra populer lain yang umumnya berlatar kota besar. Hal ini disebabkan Ahmad Tohari bisa memoles tokoh, latar, dan peristiwa rekaannya (yang memilki dasar faktual historis) itu sedemikian rupa sehinga “indah”, skematis, dan gamblang. Ini yang kemudian Tohari tidak serta merta menuliskan—dalam novelnya Rongeng Dukuh Paruk—apa yang terjadi pada kesugguhan fakta, mengingat dalam menulis tentu seorang penulis tidak langsung membahasakan referensi bacaannya secara utuh, tetapi membubuhi dengan imajinasi baru yang mampu membuat sebuah tulisan lebih memiliki ruh—tidak sekedar menulis apa adanya, lantas apa bedanya novel dengan tulisan Sejarah?—.
Maka saya menganggap wajar, ketika Tohari dalam Rongeng Dukuh Paruk (RDP)nya meniadakan cerita makam Pangeran Samudro dan Dewi Ontrowulan dengan mitos “percintaannya”. Penulis berhak penuh mendesain karyanya agar sesuai dengan apa yang menjadi tujuan penciptaannya.
Dalam ini, Tohari ingin menyampaikan nilai budaya Profetik, maka akan sangat kontradiktif manakala dalam RDP diceritakan tentang mitos “bercinta” di area makam wingit—sebagai sebuah ritual—akan mendatangkan keberkahan dengan terwujudnya harapan seorang peziarah. Dengan menyimpangkan cerita—mengganti dengan makam Ki Secamenggala yang dikisahkan sebagai sesepuh yang sangat menyukai Rongeng—maka cerita akan lebih intergratif.
Tohari, dalam bebagai karyanya, merefleksikan secara simbolis budaya populer atau budaya kerakyatan yang sarat dengan nilai budaya profetik (kuntowijoyo, 1996:236). Menurut kuntowijoyo, budaya profetik memilki tiga Pilar yaitu amar ma’ruf (humanisasi), nahi munkar (liberasi), dan iman billah (transendensi).
Sebagai seorang yang terlahir dan dibesarkan di lingkungan santri, Tohari memegangi agama Islam tidak lepas dari tradisi lokal (jawa) sehingga muatan budaya lokal dalam berbagai karyanya amat jelas terbaca. Kepercayaan pra-islam pada masyarakat jawa yang Animis, Dinamis, Hindu dan Budha tetap dipandang Tohari dalam pandangan adat dan tradisi kebudayaan yang memiliki kearifan lokal (local wisdom) yang tidak akan dibongkar dan diberangus jika tidak bertentangan dengan ajaran islam (al-akhlaq al-karimah). Sinkretisme dan kepercayaan mistik tidak diposisikan sebagai bid’ah yang bertentangan  dengan Islam tetapi diposisikan sebagai tradisi yang masih bisa diislamkan dan memberi manfaat, sekecil apa pun manfaat tersebut bagi kemanusiaan.
Sebagaimana kebanyakan para ahli antropologi, Tohari berpendapat bahwa manusia tidak dapat hidup tanpa mitos atau mitologi. Mitos diperlukan manusia dalam mencari kejelasan tentang alam lingkungannya dan sejarah masa lampaunya sebagai pelukisan atas kenyataan-kenyataan—yang tak terjangkau, baik relatif maupun mutlak—dalam format yang disederhanakan dan mudah dipahami. Itulah mengapa Tohari masih membubuhkan mitos di dalam karyanya. Hanya saja, ada sedikit penyimpangan—lagi-lagi untuk memperkuat tujuan penciptaan sebuah karya—.
Mitos, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat diartikan sebagai Cerita suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan zaman dahulu, mengandund penafsiran tentang asal-usul semesta alam, manusia dan bangsa tersebut, mengandung arti mendalam yang diungkapkan dengan cara gaib (Gramedia;2008).
Tohari memaparkan dengan gamblang bagaimana “ki Secamenggala”, leluhur masyarakat Dukuh Paruk menjadi rujukan perilaku masyarakat desa terkait dengan ronggeng, perilaku ritual dan sosial, dan perjuangan akan kehormatannya. Pencitraan “ki secamengala” menjadi referensi poetika yang mengisyaratkan kepatuhan masyarakat terhadap sebuah mitos, yang akhirnya membawa kebaikan baik bagi ronggeng maupun masyarakat Dukuh Paruk  itu sendiri. Dan mitos ini menjadi penguat ruh kejawen, biarpun yang diangkat adalah masalah budaya profetik. Jika saja yang diangkat adalah “makam Pangeran Samudro dan Dewi OntorWulan”, maka mungkin masyarakat akan mengikuti tradisi “percintaan” di area makam—sebagai wujud kepatuhan masyarakat jawa terhadap leluhur mereka—, dan cerita menjadi ganjil. Tidak ada hubungan antara Srintil yang berjuang dengan Rongengnya, Ronggeng Dukuh Paruk itu sendiri dan kebiasaan masyarakat jawa nguri-nguri budaya nenek moyang.
Sebaliknya Mitos “percintaan” sebagai ritual tidak sesuai dengan budaya profetik yang menjadi latar RDP. Budaya Profetik melalui pilar ransendensinya, mengarahkan manusia untuk mendekatkan diri dengan tuhannya (taqorrub), bukan malah melakukan tindakan yang bertentangan dengan ajaran islam.

Sabtu, 15 Oktober 2011

puisi dimaz Senja


Fragmen Doa Dalam Hujan
1/
Dari hujan yang tak mampu kau dan-ku tepis ini
Awal mula segala sabda
Sejak kata-kata tak habis kau baca
Sejarah kau dan-ku tertulis juga
Dalam tengadah rumah doa

2 /
Di senja berikutnya hanya ada sebait doa
Bersemayam dalam kitab cinta
Juga di lesung pipimu yang sumringah
Betapa hujan menginginkan jarak kau dan-ku
Tak lagi menyiksa

3/
Hujan ini hanya ada kosong
Seumpama kau dan-ku tanpa pertemuan.
Barangkali rindu tak berapi-api, dan
Tak kan memangkas kewarasanku
Yang makin tanggas.

Duh, kekasih yang
mengisi hidupku dengan nyanyian seruling
dimana sajak-sajaknya tak lagi berbait,
puisi tak lagi bernama puisi,
mungkin lebih tepat sebagai mimpi tak bertepi !
4/
Kata-kata yang kurangkai dalam semalam
-Bersama angin melelehkan duapuluhsatu lilin, yang
Setiap satunya meneteskan doa- ini selalu
Tentang kau dan-ku, tentang hujan
Yang mempertemukanku dengan cahaya.
                                                                                                            Senja, 2011
Cinta yang tak (mungkin) sampai

Auri...
Seandainya kau datang lebih awal dari kereta subuh,
Pasti kau kujadikan segurat fajar
Untuk menemaniku dalam pagi yang kabut.
Tetapi,auri..
Matahari telah lebih dulu memberiku cahaya
Membawaku pada doa dan cinta.

Senja, 2011

Embun Subuh

Aku mengira tersebab embun inikah, rindu makin bukit?
Daun-daun tampak sumringah, hawa dingin namamu makin berkelebat

Sekali saja, aku ingin membaca puisi yang
Pertemukan keningku dengan bayangmu
: Dalam subuh yang mawar.

Senja,juni 2011

Doa di awal oktober

Dan jika langit sore ini terang gulita,
Kan kusetubuhi kau sepanjang malam yang kunang.

Senja,2011






Senja Terakhir

Sepucuk mawar yang  tanggal
Di tepian pintu senja
Kelopaknya gontai
Bertaburan, meninggalkan
Cahaya yang
Tengah padam.

Senja, 2010

Tangis Dahan


Sebab angin yang datang
Begitu kencang
Selembar daun terlepas dari dekapan
Dahan
Menyisakan getah
Yang masih basah.

Senja, feb 2011