Pendidikan Akhlak Berbasis Sastra
A. PENDAHULUAN
Era Globalisasi
telah banyak memberi perubahan yang signifikan dalam kehidupan masyarakat.
Namun, yang memperihatinkan adalah perubahan yang terjadi justru cenderung
mengarah pada krisis moral dan akhlak. Dalam pada ini, pendidikan menjadi
sorotan utama. Lagi-lagi bila kita berkaca pada wajah pendidikan kita, apa
sesungguhnya yang salah dari sistem pendidikan bangsa ini sehingga menghasilkan
manusia-manusia yang begitu banyak bermental amoral.
Memang
benar, dunia pendidikan bukan satu-satunya yang patut dihakimi. Namun, mau
tidak mau melalui pendidikanlah peradaban sebuah masyarakat bisa terbentuk.
Bahkan, disebut-sebut sebagai agent of change. Dari institusi
pendidikan, diharapkan dapat dibentuk manusia-manusia berjiwa luhur,
berprikemanusiaan, tidak merampas hak oranglain, jujur dan mandiri. Singkatnya,
institusi pendidikan diharapkan mampu menumbuhkan jiwa-jiwa kebaikan pasa
setiap manusia.
Sesungguhnya,
baik buruknya pendidikan kita menjadi
tanggung jawab semua elemen bangsa. Dengan demikian, perlu kiranya kita berbenah
diri untuk memutus mata rantai warisan sosial negatif dari desain pendidikan
kita. Hampir setiap hari selalu saja ada berita-berita tentang tawuran,
penganiayaan, dan aksi-aksi anarkis lainnya, yang otabene dilakukan oleh para
remaja, atau kebanyakan pelajar. Lebih lagi, di zaman yang sedemikian modern,
yang segala sesuatunya ditempuh dengan kemudahaan atau kecanggihan teknologi,
membuat banyak pemuda yang menjadi amoral, melakukan pergaulan bebas, dan
berbagai tindak asusila. Ini yang kemudian membuat prihatin, Indonesia yang
semestinya mengikuti budaya timur, kini generasi mudanya sudah terpelosok ke
jurang budaya barat, yang penuh dengan hegemoni.
Mengapa
seolah-olah bangsa ini, dari tahun ke tahun, tidak pernah sadar dan sesegera
mungkin menyembuhkan luka dan sakit akutnya? Apa sesungguhnya yang salah dari
sistem pendidikn bangsa ini sehingga menghasilkan manusia-manusia yang
bermental amoral? Sedangkan Para pemuda yang semestinya menjadi pijakan masa
depan bangsa, kini tak lagi bisa diandalkan, karena mereka kini telah jauh dari
nilai-nilai luhur.
Sebagai
renungan, agaknya semua ini trelanjur terjadi. Mau tidak mau kita boleh
mengkaitkan dengan rendahnya pengajaran sastra di sekolah. Mengapa demikian?
Karena sastra mengasah rasa, mengolah budi, dan memekakan pikiran. Bukankah itu
cikal bakal moral dan akhlak? Sementara, lembaga sekolah adalah peletak batu
ertama dan kepribadian seseorang (tentu saja juga orangtua), yang kelak manjadi
penyangga moralitas. Rasanya, pendidik negeri ini telah begitu lama
mengabaikan, bahkan nyaris tak peduli dengan pendidikan sastra yang memadai
kepada anak didik kita.
Ada
beberapa realita yang membuktikan tentang minimnya pembelajaran sastra. Pertama,
dimulai dari kepedulian orangtua untuk mengajarkan sastra kepada anaknya.
Harus diakui tradisi mendongeng orangtua kepada anaknya, yang sudah turun
temurun dimiliki negeri ini, kini sudah makin terkikis. Orangtua lebih mementingkan
anaknya agar bisa cepat berhitung dan mengerti bahasa asing misalnya, ketimbang
anak disuguhi segudang buku cerita (sastra).
Kedua,jika diadakan
penelitian ke seluruh pelosok negeri ini terkait pendidikan usia dini,
pendidikan yang berbasis sastra secara ideal tidak mudah ditemukan. Kalaupun
ada, barangkali hanya akan ditemukan satu atau dua saja.
Ketiga, sampai saat ini
porsi pengajaran sastra hanya mendapat bagian kecil dari pengajaran bahasa.
Ketersediaan gurusastra yang mumpuni di sekolah-sekolah juga sangat terbatas.
Begitupun dengan pemanfaatan bahan ajar sastra yang belum optimal.
Keempat, penelitian
taufiq Ismail di Tahun 1997-2005 menunjukkan betapa sastra tidak diperkenalkan
padasiswa-siswi hingga mereka menyelesaikan SMA. Menurut Taufiq Ismail,
sebagian besar siswa-siswi di Indonesia berhasil menyelesaikan NOL karya!
Betapa mengenaskannya nasib sastra dalam pendidikan kita.apalagi jika
dibandingkan dengan negara-negara lain. Malaysia misalnya, mewajibkan 6 judul
karya, swiss dan jepang 15 judul, dan Amerika sekitar 32 judul.
Kelima, dalam mimbar
kebudayaan sastra dan revolusi di Yogyakarta pada juli 2010 lalu, Max Lane,
penerjemah sejumlah karya Pramoedya Ananta Toer ke bahasa inggris, mengatakan,
“Indonesia adalah satu-satunya negara di dunia yang tidak memasukkan sastra
sebagai mata pelajaran wajib di pendidikan menengah!” bandingkan lagi, jka kita
merunut pada masa silam, di zaman AMS Hindia Belanda, siswa diwajibkan membaca
buku sastra 25 judul bagi AMS Belanda –A dan 15 judul bagi AMS Hindia
Belanda-B. Sementara sekarang? Jelas tidak lagi penurunan, bahkan hampir saja
peniadaan. Akibatnya, ketika mereka dewasa, mereka juga bertindak yang jauh
dari nilai-nilai moral dan agama seperti yang terjadi dewasa ini. Barangkali ini
salah satu penyebab bobroknya akhlak pemuda saat ini, sehingga terjadi tawuran,
kekerasan dan kejahatan di mana-mana.
B.
PEMBAHASAN
1.
Sastra
dan pendidikan akhlak
a.
Sastra
Ada banyak tokoh
yang mengartikan sastra, sehingga begitu banyak pula definisi sastra, namun
secara garis besar dapat dilihat dari segi ontologi dan etimologi sebagai berikut,
·
Pengertian
sastra secara ontologi. Sastra merupakan cabang karya seni, yaitu hasil cipta
dan ekspresi manusia yang estesis (indah). Seni sastra sama kedudukannya dengan
seni-seni lainnya, seperti seni musik, seni lukis, seni tari, dan seni patung,
yang diciptakan untuk menyampaikan keindahan kepada penikmatnya. Namun,
meskipun tujuannya sama yaitu media menyampaikan estetika, tetapi medianya berbeda.
seni musik keindahannya disampaikan dengan media bunyi dan suara; seni lukis
keindahannya dengan media warna; seni tari keindahannya disampaikan dengan
media gerak; seni patung keindahannya disampaikan dengan media pahatan;
sedangkan seni sastra keindahannya dengan media bahasa. Dari sinilah bahasa
menempati posisi urgen sebagai perwujudan diri sastra, dan bahasa dalam
perkembangannya juga ditentukan oleh sastra, yaitu sastra melakukan eksplorasi kreativitas
bahasa, baik dalam kata, frasa, klausa, dan kalimat, yang tujuannya untuk
mencapai estetis. Fungsi bahasa dalam hal ini adalah sebagai penghubung. Fungsi
primer meidium bahasa secara langsung dapat diamati melalui hubungan-hubungan
sosial dalam kehidupan praktis sehari-hari.[1]
Oleh karenanya, Werren dan Wellek (1956) kemudian mendefinisikan sastra sebagai
karya imajinatif yang bermediakan bahasa dan mempunyai estetika dominan.
·
Definisi
sastra juga banyak dikemukakan berdasarkan tinjauan secara etimologi. Menurut
Teew[2],
kata “sastra” itu sepengertian dengan kata litterature (inggris) yang
berarti “huruf atau tulisan”, literatur (jerman) yang berarti “huruf
atau tulisan”, schriftum (jerman) yang berarti “segala sesuatu yang
tertulis”, dichtung (jerman) yang berarti “tulisan yang tidak berkaitan
dengan langsung dnegan kenyataan, jadi bersifat rekaan”, litteratur (perancis)
yang berarti “huruf atau tulisan”, litteratura (latin) yang berarti
“huruf atau tulisan”, literkunde (belanda) yang berarti “huruf atau
tulisan yang indah”, wen (cina) yang berarti “ikatan, tenunan, pola,
struktur”, bun (jepang) yang berarti “ilmu sastra”, dan adab
(arab) yang berarti “kebudayaan, tamaddun”.
Lebih
lanjut, Teew[3],
juga menerangkan bahwa kata sastra berasal dari bahasa sansekerta yang terdiri
dari akar kata Cas atau sas dan-tra. Cas atau sas
dalam bentuk kata kerja turunan yang berarti mengarahkan, mengajar, memberikan
sesuatu petunjuk ataupun instruksi. Akhiran –tra menunjukan sarana atau
alat. Oleh karena itu, Sastra berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku
instruksi ataupun pengajaran. Istilah susastra sendiri pada dasarnya
berasal dari awalan su yang memiliki arti “indah, baik” sehinga susastra
dibandingkan atau disejajarkan dengan belles-letters. Sastra juga sering
dipersamakan dengan bentuk-bentuk fisik seperti buku atau kitab yang berisi
tulisan yang indah, mendidik, ataupun kitab-kitab pengajaran.
Sementara, dalam
tradisi China atau Tionghoa, khususnya merujuk pada tradisi konfusianisme,
sastra diposisikan sebagai suatu alat atau cara untuk memahami realitas atau
jalan hidup di dunia yang disebut dao. Sastra dalam masyarakat cina
merupakan bagian dari satu kestuan yang disebut dengan wen yang dalam
Kamus Besar Cina-Indonesia memiliki beberapa pengertian, antara lain; (1)
huruf, tulisan, aksara, prasasti pada benda-benda kuno, (2) bahasa baik tulis
maupun lisan, (3) tulisan, karangan yang mencerminkan orangnya, karya tulis,
(4) bahasa sastra dan bahasa klasik, (5) kebudayaan, peradaban, dan peninggalan
sejarah, (6) halus, sopan.[4]
b.
Pendidikan
akhlak dalam sastra
Pada
dasarnya pendidikan akhlak[5]
menempati posisi sangat penting dalam Islam, karena kesempurnaan Islam
seseorang tergantung kepada kebaikan dan kemuliaan akhlaknya. Manusia yang
dikehendaki Islam adalah manusia yang memiliki akhlak yang mulia, manusia yang
seperti inilah yang akan mendapatkan kebaikan di dunia dan di akhirat.[6] Untuk
itu diperlukan adanya pendidikan akhlak yang tidak sebatas pada aspek kognitif
saja melainkan sampai pada aspek afektif dan psikomotornya.
Pendidikan akhlak menekankan pada
sikap, tabiat dan perilaku yang menggambarkan nilai-nilai kebaikan yang harus
dimiliki dan dijadikan kebiasaan anak didik dalam kehidupan sehari-hari.
Rasulullah SAW menganjurkan kepada umatnya untuk memperhatikan akhlak anak
dengan baik, karena akhlak ini merupakan implikasi dan cerminan dari kedalaman
tauhid kepada Allah SWT.[7]
Akhlak yang baik atau akhlakul
karimah, yaitu sistem nilai yang menjadi asas perilaku yang bersumber dari
Al-qur’an, As-Sunnah, dan nilai-nilai alamiah (sunnatullah).[8] Pendidikan
akhlak merupakan faktor yang sangat penting dalam menciptakan kehidupan yang
harmonis berdasarkan tata nilai Islam, karena dengan akhlak yang baik maka akan
tercipta manusia-manusia yang memiliki kualitas moral yang baik pula. Menjadi
sangat penting apabila kita memberikan pendidikan akhlak kepada anak sejak usia
dini, karena anak adalah generasi penerus bangsa yang kelak akan menjadi
manusia yang diharapkan mampu menjadi panutan bagi banyak orang.
Salah satu cara
Pendidikan akhlak yang efektif adalah dengan pembelajaran sastra. Sebagaimana pengertian secara garis besar tentang sastra
di atas, bahwa dua hal yang terpenting dalam sastra adalah nilai dan keindahan.[9]
Satra menyampaikan makna atau nilai kepada pembacanya dengan medium kode yaitu bahasa,
sebagaimana dikatakan Raman Selden[10]
An addresser sends a message to an addressee; the message uses a
code (ussualy a language familiar to both addresser and adrressee); the message
has a context (or “referent”) and is transmitted trough a contact (a medium,
such as speech, telephone, or writing)
Nilai seperti
halnya pengetahuan berakar pada dan diperoleh dari sumber-sumber obyektif.
Sedangkan sifat-sifat nilai tergantung dari pndangan yang timbul dari realisme
dan isealisme. Kedua aliran ini menyangkut masalah nilai dengan semua aspek
peri kehidupan manusia yang berarti meliputi pendidikan.[11] Kulaitas
nilai tidak dapat ditentukan secara konseptuil, melainkan tergantung dari apa
atau bagaimana keadaannya bila dihayati oleh subyek tertentu dan selanjutnya
akan begantung pula dari sikap subjek tersebut. Ini berarti, bahwa sastra
sebagai mediasi nilai, dan seberapa banyak nilai yang diambil, merupakan
cerminan dari seberapa dalam sastra itu dikaji dan diapresiasi. Nilai yang
dimaksud di sini adalah nilai-nilai akhlak, atau budi luhur, dan kepekaan
sosial, yang dibawa oleh sastra.
Sementara itu,
konsep keindahan yang ada pada sastra, mengacu pada keindahan kehidupan yang
dilukiskan dan digambarkan dalam karya sastra, dan keindahan bahasa yang
digunakan untuk menyampaikan kehidupan tersebut.[12]
Nilai keindahan adalah suatu kenikmatan dalam pengalaman bila kognisi dan
perasaan bercampur atau saling memepengaruhi.[13]
Sehingga, kneikmatan seseorang menikmati keindahan itu merupakan perpaduan
antara pengalman, persepsi dan perasaan. Oleh karena itu, tidak mengherankan
bila pada zaman dulu, sastra merupakan media pembelajaran yang banyak disukai
orang untuk menyampaikan nilai atau pesan moral atau akhlak kepada orang lain,
seperti seorang ibu yang meninabobokan anaknya dengan mendongeng, misalnya,
karena dengan nilai setetika, maka sastra diterima oleh segenap kalangan
masyarakat.
Daiches (1964)
mengacu pada Aristoteles yang meilhat sastra sebagai suatu karya yang
“menyampaikan suatu jenis pengetahuan yang tidak bisa disampaikan dengan cara
lain”, yakni suatu cara yang memberikan kenikmatan yang unik dan pengetahuan
yang memperkaya wawasan pembacanya.[14] Di sinilah peran penting sastra dalam
mentransmisikan “pesan” tentang penanaman akhlak. Sebab, dalam sastra ada
komunikasi, yang kemudian dinamakan komunikasi linguistik berikut yang
ditemukan Roman Jakobson,[15]
PENGIRIM
|
PENDENGAR
|
KONTEKS
PESAN
HUBUNGAN
KODE
|
Dari bagan
itulah, tergambar jelas, bagaimana alur penyampaian pesan melalui bersastra,
dan satu hal yang penting adalah “pesan” itu melingkupi, budi luhur atau akhlak
yang baik, karena sastra menghaluskan budi. Akhlak itu jugalah yang paling
penting ditanamkan orangtua semenjak dini, sebagaimana diutarakan Syekh ‘ulama
al askandariyah[16]
اَنْ اَرَكَ صَحِيْحَ البِنْيَةِ قَوِيَّ الاِدْ رَاكِ زَكِيَّ
القَلْبِ مُهَذَّبَ الاَخْلاَقِ مُحاَ فِظً عَلئَ اْلاَدَابِ بَعِيْداً
عَنِ اْلفُخْشِ
فِئ اْلقَوْ لِ لَطِيْفَ الْمُعاَ شَرَ ةِ مَحْبُوْ باً مِنْ اِخْواَ نِكَ
Penanaman nilai-nilai
akhlak dalam sastra, juga diasmpaikan al-Syaibany yang mengutip perkataan para sahabat nabi dan
filsuf slam, antara lain: perkataan Umar
bin Khattab ra. Dalam wasiat yang disampaikannya kepada gubernur-gubernur:
“sesudah itu ajarkanlah kepada anak-anakmu berenang dan menunggang kuda dan
ceritakan kepada mereka adab sopan
santun dan syair-syair”. Kata Hisyam bin Abdul Malik kepadaSulaiman al-Kalby,
guru anaknya: “sesungguhnya anakku ini adalah cahaya mataku, saya percayakan
kepadamu mengajarnya. Hendaklah engkau bertaqwa kepada Alloh dan tunaikanlah
amanat. Dan yang petama-tama saya wasiatkan kepadamu agar engkau mengajarkan
kepadanya Al qur’an,kemudian hafalkan kepadanya syair-syair arab yang terbaik,
kemudian ajak dia berjalan-jalan di
kampung-kampung arab dan beri kepadanya syair-syair yang berguna. Ajarkan
kepadanya yang halal dan haram, juga tentang khutbah dan pidato yang
membangkitkan semangat”.
Sementara itu
Al jahiz telah menetapkan kurikulum yang rinci bagi pelajar-pelajar pada tahap
pertama ini. Beliau menyebutkan : “jangan dipenuhi kepala anak-anak dengan ilmu
nahwu kecuali untuk sekedar menjaganya dari bahasa yang buruk agar kalau ia
menulis kitab, orang awam dapat memahaminya, dan kalau membaca syair ia dapat
memahaminya, atau kalau ia meletakkan sesuatu ia memahami tujuannya. Juga
diajarkan sedikit ilmua hitung, tetapi jangan ilmu ukur dan ruang. Juga
diajarkan membaca karangan sastrawan-sastrawan supaya dapat memahami maknanya.”
Dari keterangan
tersebut, terbuktilah bahwa para ulama terdahulu sekalipun, telah mengakui
keberadaan sastra yang sangat penting, karena pengaruhnya terhadap penanaman
nilai akhlak kepada anak. Demikian bahwa sastra memliki peranan penting dalam
perkembangan akhlak,moral,sosial dan psikologi pembacanya, yaitu dengan
menanamkan, menumbuhakan, dan mengembangkan kepekaan terhadap norma-norma
manusiawi,pengenalan dan rasa hormatnya terhadap tata nilai, baik dalam konteks
individual maupun sosial.
2.
Problematika
pengajaran sastra
Pengajaran bahasa dan sastra di berbagai jenjang pendidikan selama
ini sering dianggap kurang penting dan dianaktirikan oleh para guru, khususnya
guru yang pengetahuan dan apresiasi sastra dan budayanya rendah. Hal ini menyebabkan
mata pelajaran yang notabene mnenarik dan besar sekali manfaatnya bagi para
siswa ini disajikan hanya sekedar memenuhi tuntutan kurikulum. Tak heran jika
pelajaran menjadi kering, kurang hidup, dan enderung kurang mendapat tempat di
hati siswa. Padahal, bila kita kaji secara mendalam, tujuan pengajaran bahasa
dan sastra Indonesia di sekolah dimaksudkan untuk menumbuhkan ketrampilan, rasa
cinta, dan penghargaan para siswa terhadap bahasa dan sastra Indonesia sebagai
bagian dari budaya warisan leluhur. Dengan demikian, tugas guru bahasa
Indonesia tidak hanya memberi pengetahuan (aspek kognitif), tetapi juga
keterampilan (aspek psikomotorik) dan menanamkan rasa cinta (aspek afektif).
Dalam pengajaran sastra, terdapat beberapa problematika yang harus
segera diatasi oleh guru bahasa dan sastra di sekolah. Hal ini kita pandang
perlu, karena problematika pengajaran sastra menyebabkan kurang optimalnya
pengajaran sastra di sekolah. Problematika yang terjadi adalah sebagian besar
guru bahasa dan sastra di sekolah kurang menumbuhkembangkan minat dan kemampuan
siswa dalam hal sastra. Sebenarnya, guru bahasa dan sastra Indonesia dapat
mengusahakan karya sastra siswa dimuat di media massa, dalam bentuk buku
sastra, dan media elektronik, yakni internet dan radio. Hal ini dirasa perlu
dalam menumbuhkembangkan potensi sastra yang ada dalam diri siswa. Mereka akan
tertantang untuk membuat dan mempublikasikan karya sastra mereka secara luas
dan kontinu. Kenyataan yang lebih memprihatinkan, sebagian besar guru bahasa dan
sastra tidak menjadi contoh sebagai orang yang aktif membuat dan
mempublikasikan karya sastra di media massa, buku sastra dan media elektronik.
Atau, guru mengajak bersama-sama dengan muridnya agar karya mereka dimuat
bersamaan dalam majalah sastra, semisal Horison, sebagai majalah sastra
terbesar di Indonesia, yang mana ada rubrik kaki langit, tempat pemuatan
karya anak sekolah, yang juga diikuti esaiy atau artikel pendek dari guru
sastra tentang perkembangan sastra yang terjadi di sekolahnya.
Agus R Sarjono[17],
sastrawan dan kritikus sastra, menuturkan bahwa telah terjadi disorientasi dala
pengajaran sastra di sekolah, menurutnya, gagalnya pengajaran sastra di sekolah
terjadi akibat kesalahan guru di sekolah yang telah mengingkari hakikat yang
melandasi lahirnya pengajaran sastra ini. Sementara itu, Ahmadun Yosi Herfanda
mengungkapkan bahwa pengajaran sastra di sekolah sampai saat ini belum berjalan
secara maksimal. Indikator utama yang mempengaruhinya adalah rendahnya
apresiasi dan minat baca rata-rata siswa dan lulusan SMU terhadap karya sastra.
Bahkan, dalam pengetahuan aspek sastra saja, mereka umumnya juga masih sempit,
tidak seluas pengetahuan mereka tentang dunia artis dan selebriti.
Sesungguhnya yang menjadi akar permasalahan adalah sistem pendidikan kita. Kurikulum
pendidikan saat inidianut tidak pernah membrikan ruang gerak yang leluasapada
pembelajaran sastra. Orientasipemerintah dalampembangunan bidang pendidikan
masih melenceng jauh dari hakikat tujuan pendidikan itu sendiiri.sistem
pendidikan di Indonesia acapkali memaksa sekolah sebagai penyelenggaraan
pendidikan dan guru mengingkari hakikat pemdidikan. Target perolehan nilai
tertentu ysng harus dicapai dengan standar penilaianUjian
Nasional,memicupeningjkatan tujuan pendidikan yang sebenarnyasehingga tidak
urung memaksaguru bahasa menomorduakan sastra.
3.
Pengajaran sastra di sekolah
Peran sastra dalam membentuk
generasi akan datang yang berakhlak mulia perlu direalisasikan. Oleh karena
itu,orangtua dan guru wajib membimbing perkembangan anak-anak ke arah yang
positif agar mereka kelakmenjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna
dalamkehidupan. Salah satu jalan untuk mencapai tujuan tersebut adalah sastra
yang sesuai dengan perkembangan anak.
Krisis moral dan akhlak menjalar dan menjangkiti bangsa ini. Betapa
pemuda, sebagai generasi penerus bangsa kini mengalami dekadensi akhlak di sana
sini. Hampir setiap hari selalu ada berita kriminal yang sebagian pelakunya
adalah pelajar, pemuda. Sungguh sangat miris melihat kenyataan seperti itu,
belum lagi kasus bentrokan atau tawuran yang acap kali terjadi hanya karena hal
sepele. Jika sudah demikian, siapakah yang pantas disalahkan? Apakah pendidikan
kita belum bisa mengejewantahkan nilai-nilai akhlak kepada pelajar?
Nilai-nilai yang terkandung di dalam karya sastra diresepsi oleh
anak dan secara tidak sadar merekonstruksi sikap dan kepribadian mereka.karya
sastra selain merangsang imajinasi
kreatifitas anak, juga dapat menanamkan nilai-nilai akhlak. Selain itu, Melalui
sastra,anak-anak dapat menemukan berbagai kemampuan yang mereka miliki.menurut
Joan Glazer,peran sastra dalam membantu perkembangan sosialisasi,meliputi, (1)
sastra memperlihatkan kepada anak-anak bahwa banyak dari perasaan merka juga
dialami oleh anak-anak yang lainnya semua itu wajar secara ilmiah, (2) sastra
menjelajahi serta meneliti dari berbagai sudut pandang memberikan suatu
gambaran yang utuh dan bulat, memberikan dasar penanaman emosi tersebut,(3)
perilaku para tokoh memperlihatkan berbagai pikiran mengenai cara-cara
menggarap emosi-emosi tersebut, (4) sastra turut memperjelas bahwa seorang
manusia mengalami berbagai perasaan dan perasaan tersebut kadang bertentangan
serta memperlihatkan konflik. Dari nilai-niali perkembangan sosialisasi
tersebut,anak akan memahami betapa manusia saling membutuhkan dan memiliki
perasaan yang sama, ini yang kemudian akan menanamkan rasa kepedulian terhadap
sesama, inilah perwujudan akhlak yang baik.
Dewasa ini, orangtua tidak lagi mengutamakan soal pendidikan akhlak
kepada anak-anaknya. Sebagian besar orangtua kini kebanyakan memilih memberikan
pendidikan di bidang-bidang yang bisa mengahsilkan uang yang banyak atau yang
menjanjikan masa depan cerah. Para orangtua lebih memilih menyekolahkan anaknya
di sekolah elit dengan biaya yang mahal ketimbang menyekolahkan di pesantren
atau sekolah berbasis agama.
Kemajuan suatu bangsa mustahil terwujud jika kecerdasan,
kepandaian, atau ketrampilan SDM nya tidak dilandasi dengan keimanan dan akhlak
yang mulia. Justru kepandaian dan ketrampilan tanpa moral dan akhlak mulia akan
cenderung menjerumuskan dan mencelakakan. Dimensi moral dan akhlak erat
kaitannya dengan dimensi watak. Setiap individu memiliki penilaian moral yang
berbeda-beda. Itu pun tergantung watak dari tiap-tiap individu.
Krisis moral dapat diatasi dengan pendidikan akhlak. Dalam lingkup
sekolah, misalnya, pembinaan akhlak dapat diterapkan melalui pembelajaran
bahasa dan sastra Indonesia. Artinya pengajaran sastra yang berdimensi akhlak.
Sebenarnya, pengajaran sastra mampu dijadikan sebagai pintu masuk dalam
penanaman nilai-nilai akhlak. Nilai-nilai akhlak banyak ditemukan dalam
karya-karya sastra, baik puisi, cerpen, novel maupun drama. Bila karya itu
dibaca, dipahami isi dan maknanya, serta ditanamkan pada diri siswa, maka siswa
akan menjunjung nilai-nilai akhlak.
Pembinaan akhlak menjadi tanggung jawab semua elemen sekolah. Dari
kepala sekolah, guru, BK, OSIS, hingga siswa sendiri. Dalam upaya itu, memang
membutuhkan waktu yang lama guna mengubah aklak yang amoral menjadi akhlak yang
bermoral. Pengajaran sastra di sekolah dapat mengatasi hal tersebut. Namun
pengajraran sastra di negara kita sangatlah minim, bahkan penyair Taufiq Ismail
sesuai penelitiannya, mengatakan siswa SMU Indonesia tidak satupun ada buku
wajib sastra yan dibaca. Jika bercermin pada masa lalu, di zaman AMS Hindia
Belanda, siswa diwajibkan membaca buku sastra sebanyak 15 sampai 25 judul. Ini
menunjukkan betapa penurunan terjadi dalam pendidikan Indonesia. Padahal,
kurangnya siswa belajar sastra justru mengakibatkan siswa semakin jauh dari
nilai-nilai akhlak. Akibatnya, ketika mereka dewasa, mereka juga bertindak jauh
dari nilai-nilai moral dan agama seperti yang terjadi dewasa ini.
4.
Pengajaran
Sastra sebagai media penanaman nilai-nilai akhlak
Hakikat pengajaran sastra adalah suatu proses belajar-mengajar yang
bertujuan membina siswa agar menjadi manusia yang dapat bermasyarakat dengan baik, yaitu
manusia yang memiliki akhlak yang baik. Maka dari itu, pengajaran sastra yang
dilaksanakan dengan baik tentu dapat menanamkan pengetahuan dasar tentang
apresiasi, membekali ketrampilan dalam mengaprtesiasi sastra, dan dapat
membentuk dan mengembangkan kepribadian, kejujuran dan akhlak pada siswa.
Agus R. Sarjono[18]
mengatakan bahwa kondisi pengajaran sastra sejauh ini sangatlah mengecewakan.
Fenomena ini menimbulkan keprihatinan di berbagai kalangan, sperti praktisi
pendidikan, sastrawan atau budayawan, serta pengajar. Sebenarnya pengajran
sastra di sekolah memiliki peluang besar untuk meningkatkan kemampuan apresiasi
dan minat siswa terhadap sastra. Namun peluang tersebut sejauh ini belum
termanfaatkan diantaranya menurut Noer Toegiman disebabkan oleh beberapa
faktor, yaitu, faktor buku pengajaran sastra yang kurang memadai, sarana yang
kurang representatif, guru yang kurang profesional dalam bidang sastra, serta
sistem ujian sastra sendiri yang kurang tepat.[19]
Pengajaran sastra memiliki peran bagi pemupukan kecerdasan siswa
dalam semua aspek, termasuk akhlak. Melalui apresiasi sastra, misalnya,
keerdasan intelektual, emosional, dan spiritual siswa dapat dilatih, serta
dikembangkan. Siswa tak hanya terlatih untuk membaca saja tetapi juga mampu
mencari makna dan nilai-nilai dalam sebuah karya sastra. Karena di dalam sastra
terkandung tiga muatan, yaitu, imajinasi, pengalaman, dan nilai-nilai.
Modal apresiasi sastra yang memadai akan menciptakan output
pendidikan yang lebih arif dan bijak. Dalam konteks ini, sastra menjadi sangat
penting. Tidak hanya semata sastra berperan dalam penanaman fondasi keluhuran
pekerti, melainkan sastra juga memiliki andil dalam pembentukan karakter yang
jujur sejak dini. Melalui pergulatan dan pertemuan intensif dengan teks-teks
sastra, para siswa akan mendapatkan bekal pengetahuan yang mendalam tentang
manusia, hidup, dan kehidupan, serta berbagai kompleksitas problematika dimensi
hidup.
Oleh karena itu, apresiasi sasra yang baik seyogyanya relevan
dengan empat ketrampilan berbahasa, yakni menyimak, berbicara, membaca dan
menulis. Jika itu terwujud, penulis yakin, siswa dapat mempertajam perasaan,
penalaran, daya khayal, serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya dan lingkungan
hidup. Dengan membaa kartyasastra, diharapkan sejumlah nilai-nilai moral bisa
dipahami, serta dipraktikkan siswa, baik di sekolah, rumah maupun
masyarakatnya.
5.
Apresiasi
sebagai teknik pengajaran Sastra
Istilah
apresiasi berasal dari bahasa inggris appreciation, yang berarti
mengindahkan atau menghargai, yaitu segala hal yang berhubungan dengan
penghargaan terhadap sesuatu.[20]
Dalam pada ini, penghargaan adalah suau sikap yang menghargai karya sastra,
yaitu menyadari bahwa karya sastra adalah sebuah produk kebudayaan yang
berharga karena di dalamnya ada pesan-pesan (makna) yang berguna bagi
masyarakat. Aristoteles, misalnya, menyebutkan bahwa karya sastra itu bisa
memberikan katarsis atau penyucian
jiwa pada pembacanya, yaitu setiap orang yang intens membaca karya sastra pasti
mempunyai perasaan yang halus, lembut, dan baik.[21]
Sedangkan Horatius dalam bukunya Art Poetica, menyatakan fungsi karya
sastra adalah dulte et utile, artinya sastra mempunyai fungsi ganda
yaitu menghibur dan sekaligus bermanfaat.[22]
Menghibur karena karya sastra berisi cerita tentang kehidupan yang unik,
menarik, dan menyenangkan sehingga disukai oleh banyak orang; dan bermanfaat
karena dalam kehidupan yang diceritakan itu sarat dengan pesan makna yang bisa
didapat oleh pembaca.
Ada
beberapa Pengertian apresiasi sebagai bentuk penghargaan yang disampaikan
beberapa tokoh, antara lain; (1) Panuti Sudjiman (1990) yang mendefiniskan
apresiasi sebagai bentuk penghargaan terhadap karya sastra yang didasarkan pada
pemahaman pembaca; (2) T. Suparman Natawijaya (1981), yang menyebut bahwa
apresiasi adalah penghargaan dan pemahaman terhadap suatu hasil seni dan
budaya, termasuk karya sastra. Sementara definisi apresiasi sebagai bentuk
penilaian, disampaikan oleh; (1) Tarigan (1984), yang mendefinisikan apresiasi
sebagai penaksiran kualitas karya sastra serta pemberian penilaian yang wajar
kepaanya berdasarkan pengamatan dan pengalaman yang sadar dan kritis; (2)
Hornby (1972) bahwa apresiasi adalah penimbangan, penilaian, pemahaman, dan
pengenalan terhadap karya sastra secara memadai.[23]
Dari
pengertian-pengertian di atas, hal paling fundamental dalam apresiasi terhadap
karya sastra adalah pembacaan karena seseorang akan bisa menghargai dan menilai
sesuatu, yang didahului dengan pengenalan. Dengan demikian, Apresiasi berkaitan
dengan pembacaan terhadap karya sastra. Dalam konteks yang lebih luas, dengan
merujuk pengertian apresiasi, yang menurut Grove[24],
mengandung dua makna, yaitu (1) pengenalan melalui perasaan dan kepekaan batin,
dan (2) pemahaman dan penilaian terhadap nilai-nilai keindahaj yang diungkapkan
dalam karya sastra.
Apresiasi terhadap karya sastra, menurut Squire dan Taba[25],
akan melibatkan tiga unsur, yaitu
a). Aspek
Kognitif
Aspek ini berkaitan dengan keerlibatan intelektual pembaca dalam
upaya memahami undur-unsur kesastraan yan bersifat intrinsik dan ekstrinsik.
Unsur-unsur ini merupakan unsur yang ada dalam karya sastra seperti, fakta
cerita, sarana cerita, dan tema. Sedangkan unsur ekstrinsiknya berhubungan
dengan unsur-unsur yang ikut membangun karya sastra, tetapi berasal dari luar
karya sastra, misalnya pembaca, lingkungan, dan pengarangnya. Aspek kogbitif
ini, berkaitan dengan aspek penjelasan (explanation) terhadap karya
sastra.
Menurut Paul Ricoeur, penjelasan (explanation) adalah
analisis terhadap karya sastra sebagai objek, yaitu mengungkapkan makna yang
ada daam karya sastra. Proses penjelasan ini merupakan tahap dasar yang
dilakukan pembaca dalam memahami karya sastra. Selanjutnya, pemnbaca melakukan
pemahaman (understanding), yaitu menghubungkan apa yang dimaksud oleh
karya sastra (makna objektif karya) dengan dunia di luarnya dengan berdasarkan
pada perspektif pembaca.[26]Jadi
pemahaman merupakan sebuah refleksi pembaca atas keterkaitan makna tekstual
karya sastra dengan makna kontekstualnya.
b). Aspek
emotif
Aspek ini berkaitan degan keterlibatan unsur emosi pembaca dalam
upaya menghayati unsur-unsur keindahan dalam karya sastra yang dibaca. Aspek
emosi ini berperan dalam memahami karya sastra dengan cara subjektif pembaca,
setelah melalui proses kognitif atau penjelasan. Jadi, pada aspek emotif ini
pemaknaan pembaca lebih bersifat reflektif, yaitu membiarkan diri menemukan
makna dan nilai-nilai dari karya sastra yang dibacanya.
c). Aspek evaluatif
Aspek ini berhubungan dengan kegiatan memberikan penilaian terhadap
karya sastra yang dibacanya. Aspek ini sudah sampai pada tataran kritis, yaitu
setelah pembaca (apresiator) mengerti unsur-unsur yang membangun karya sastra
dan memahami makna dan nilai karya sastra.
Dengan
demikian, apresiasi memang jalan terbaik untuk pembelajaran sastra dalam upaya
menanamkan nilai-nilai pendidikan akhlak, selain itu, apresiasi sastra merupakan
salah satu dari edutainment, yaitu pengajaran dengan suasana
menyenangkan, sebab, sastra memberikan nilai-nilai dan juga hiburan, dengan
bahasa yang kaya dengan estetik atau keindahan. Jadi pengajaran dengan
apresiasi sastra, memudahkan dalam menanam nilai-nilai budi luhur, atau akhlak.
C.
PENUTUP
Dewasa
ini, era Globalisasi telah memberikan efek yang signifikan, namun, yang
memprihatinkan adalah efek yang terjadi justru perubahan yang kurang baik,
yaitu dekadensi akhlak yang banyak terjadi pada generasi muda. Maka, pendidikan
menjadi sorotan utama, apakah pendidikan mampu menanamkan akhlak atau tidak. Oleh
karena itu sangat diperlukan pendidikan akhlak yang efektif dan efisien.
Pada dasarnya
pendidikan akhlak menempati posisi sangat penting dalam Islam, karena
kesempurnaan Islam seseorang tergantung kepada kebaikan dan kemuliaan
akhlaknya. Salah satu cara Pendidikan akhlak yang
efektif adalah dengan pembelajaran sastra. Nilai-nilai yang terkandung di dalam
karya sastra diresepsi oleh anak dan secara tidak sadar merekonstruksi sikap
dan kepribadian mereka.karya sastra
selain merangsang imajinasi kreatifitas anak, juga dapat menanamkan
nilai-nilai akhlak.
Pengajaran sastra memiliki peran bagi pemupukan kecerdasan siswa
dalam semua aspek, termasuk akhlak. Melalui apresiasi sastra, misalnya,
keerdasan intelektual, emosional, dan spiritual siswa dapat dilatih, serta
dikembangkan. Siswa tak hanya terlatih untuk membaca saja tetapi juga mampu
mencari makna dan nilai-nilai dalam sebuah karya sastra. Karena di dalam sastra
terkandung tiga muatan, yaitu, imajinasi, pengalaman, dan nilai-nilai.
Hakikat pengajaran sastra adalah suatu proses belajar-mengajar yang
bertujuan membina siswa agar menjadi manusia yang dapat bermasyarakat dengan baik, yaitu
manusia yang memiliki akhlak yang baik. Maka dari itu, pengajaran sastra yang
dilaksanakan dengan baik tentu dapat menanamkan pengetahuan dasar tentang
apresiasi, membekali ketrampilan dalam mengaprtesiasi sastra, dan dapat
membentuk dan mengembangkan kepribadian, kejujuran dan akhlak pada siswa.
Modal apresiasi sastra yang memadai akan menciptakan output
pendidikan yang lebih arif dan bijak. Dalam konteks ini, sastra menjadi sangat
penting. Tidak hanya semata sastra berperan dalam penanaman fondasi keluhuran
pekerti, melainkan sastra juga memiliki andil dalam pembentukan karakter yang
jujur sejak dini. Melalui pergulatan dan pertemuan intensif dengan teks-teks
sastra, pembaca akan mendapatkan bekal pengetahuan yang mendalam tentang
manusia, hidup, dan kehidupan, serta berbagai kompleksitas problematika dimensi
hidup.
D.
DAFTAR PUSTAKA
A. Teew. 1988. Sastera dan ilmu
sastera;Pengantar teori sastera. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.
Ali, Zainuddin. 2007 .Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Bumi
Aksara.
Al Munawar, Said Agil Husin. 2005.Aktualisasi
Nilai-nilai Qur’ani: Dalam Sistem Pendidikan Islam, Ciputat: Press.
Aminudin. 2002 . Pengantar
Apresiasi Karya Sastra. Bandung : Sinar Baru Algesindo.
As, Asmaran. 1992. Pengantar Studi Akhlak. Jakarta: Raja Grafindo
Persada..
Azmi, Muhammad. 2006. Pembinaan
Akhlak Anak Usia Pra-Sekolah, Yogyakaarta: Belukar.
Barnadib, Imam. Filsafat Pendidikan,sistem dan metode. Jogjakarta:
Andi Offset.
Budianta, Melani. 2008. Membaca
Sastra; Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi. Magelang :
Indonesiatera.
Depsiknas. 2003 Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta
: Departemen Pendidikan Nasional dan Balai Pustaka.
Iskandariyah, Syekh ‘ulama. Kitab Washoya Al Abna’u Lil Abna’
Kurniawan, Heru. 2009 Sastra Anak, dalam kajian
Strukturalisme, Sosiologi, Semiotika, hingga penulisan Kreatif. Jogjakarta:
Graha Ilmu.
Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma
Sosiologi Sastra. Jogjakarta : Pustaka Pelajar.
Saryono, Djoko. 2009. Dasar Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Elmatera.
Sarjono, Agus R. 2001. Sastra
dalam Empat Orba. Jogjakarta : Yayasan Bentang Budaya.
Sayuti, Suminto A. 1985. Puisi
dan Pengajarannya : Sebuah Pengantar Semarang: IKIP Semarang Press.
Selden, Raman. 1985. A Reader’s
Guide to Contemporary Literary Theory. Liverpool :The Harvester Press.
Susanto, Dwi. 2012 .Pengantar Teori Sastra. Yogyakarta: CAPS.
[1] Nyoman Kutha
Ratna, Paradigma Sosiologi Sastra, (Jogjakarta : Pustaka Pelajar, 2003)
hlm 44
[2] A. Teew, Sastera
dan ilmu sastera;Pengantar teori sastera. (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya,
1988) hlm 22.
[3] Ibid hlm 24.
[4] Dwi Susanto, Pengantar
Teori Sastra. (Yogyakarta: CAPS, 2012) hlm 2.
[5]
Asmaran As, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1992), hlm. 2-3.
Pendidikan Akhlak merupakan suatu proses mendidik, memelihara,
membentuk dan memberikan latihan mengenai akal dan kecerdasan berpikir baik
bersifat formal maupun informal yang didasarkan pada ajaran-ajaran Islam.
[6]
Muhammad Azmi, Pembinaan Akhlak Anak Usia Pra-Sekolah, (Yogyakaarta:
Belukar, 2006), hlm. 54.
[7]
Said Agil Husin Al Munawar, Aktualisasi Nilai-nilai Qur’ani: Dalam Sistem
Pendidikan Islam, (Ciputat:
Press,2005), hlm. 8.
[9] Heru
Kurniawan, Sastra Anak, dalam kajian Strukturalisme, Sosiologi, Semiotika,
hingga penulisan Kreatif. (Jogjakarta: Graha Ilmu, 2009) hlm 21.
[10] Raman Selden, A
Reader’s Guide to Contemporary Literary Theory. (Liverpool :The Harvester
Press, 1985). Hlm 3.
[11] Imam Barnadib. Filsafat Pendidikan,sistem
dan metode. (Jogjakarta: Andi Offset,) hlm 50
[12] Heru Kurniawan.
Sastra anak....hlm 21.
[13] Op. Cit. Hlm
51.
[14] Melani
budianta, dkk. Membaca Sastra. (Jakrarta : Indonesia Tera, 2008) hlm7
[15] Heru
Kurniawan. Sastra Anak....hlm 57.
[16] Syekh ‘ulama
Iskandariyah. Kitab Washoya Al Abna’u Lil Abna’
[17] Agus R.
Sarjono, Sastra dalam Empat Orba,,,,hlm 207-209.
[18] Agus R.
Sarjono. Sastra dalam Empat Orba. (Jogjakarta : Yayasan Bentang Budaya,
2001) hlm.207
[19] Suminto A.
Suyuti. Puisi dan Pengajarannya : Sebuah Pengantar (Semarang: IKIP
Semarang Press, 1985), hlm 4.
[20] Depsiknas. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional dan Balai
Pustaka, 2003) hlm 62
[21] Heru
Kurniawan. Sastra Anak....hlm 6
[22] Melani
Budianta. Membaca Sastra; Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi. (Magelang
: Indonesiatera, 2008) hlm. 19
[23] Djoko Saryono.
Dasar Apresiasi Sastra. (Yogyakarta: Elmatera, 2009) hlm 32-33.
[24] Aminudin. Pengantar
Apresiasi Karya Sastra. (Bandung : Sinar Baru Algesindo, 2002) hlm.34
[25] Ibid, Hlm 34
[26] Heru
Kurniawan. Sastra Anak,,,,,hlm 10