Minggu, 02 Desember 2012

untuk sebuah jurnal pendidikan


Pendidikan Akhlak Berbasis Sastra
A.  PENDAHULUAN
Era Globalisasi telah banyak memberi perubahan yang signifikan dalam kehidupan masyarakat. Namun, yang memperihatinkan adalah perubahan yang terjadi justru cenderung mengarah pada krisis moral dan akhlak. Dalam pada ini, pendidikan menjadi sorotan utama. Lagi-lagi bila kita berkaca pada wajah pendidikan kita, apa sesungguhnya yang salah dari sistem pendidikan bangsa ini sehingga menghasilkan manusia-manusia yang begitu banyak bermental amoral.
Memang benar, dunia pendidikan bukan satu-satunya yang patut dihakimi. Namun, mau tidak mau melalui pendidikanlah peradaban sebuah masyarakat bisa terbentuk. Bahkan, disebut-sebut sebagai agent of change. Dari institusi pendidikan, diharapkan dapat dibentuk manusia-manusia berjiwa luhur, berprikemanusiaan, tidak merampas hak oranglain, jujur dan mandiri. Singkatnya, institusi pendidikan diharapkan mampu menumbuhkan jiwa-jiwa kebaikan pasa setiap manusia.
Sesungguhnya, baik buruknya pendidikan  kita menjadi tanggung jawab semua elemen bangsa. Dengan demikian, perlu kiranya kita berbenah diri untuk memutus mata rantai warisan sosial negatif dari desain pendidikan kita. Hampir setiap hari selalu saja ada berita-berita tentang tawuran, penganiayaan, dan aksi-aksi anarkis lainnya, yang otabene dilakukan oleh para remaja, atau kebanyakan pelajar. Lebih lagi, di zaman yang sedemikian modern, yang segala sesuatunya ditempuh dengan kemudahaan atau kecanggihan teknologi, membuat banyak pemuda yang menjadi amoral, melakukan pergaulan bebas, dan berbagai tindak asusila. Ini yang kemudian membuat prihatin, Indonesia yang semestinya mengikuti budaya timur, kini generasi mudanya sudah terpelosok ke jurang budaya barat, yang penuh dengan hegemoni.
Mengapa seolah-olah bangsa ini, dari tahun ke tahun, tidak pernah sadar dan sesegera mungkin menyembuhkan luka dan sakit akutnya? Apa sesungguhnya yang salah dari sistem pendidikn bangsa ini sehingga menghasilkan manusia-manusia yang bermental amoral? Sedangkan Para pemuda yang semestinya menjadi pijakan masa depan bangsa, kini tak lagi bisa diandalkan, karena mereka kini telah jauh dari nilai-nilai luhur.
Sebagai renungan, agaknya semua ini trelanjur terjadi. Mau tidak mau kita boleh mengkaitkan dengan rendahnya pengajaran sastra di sekolah. Mengapa demikian? Karena sastra mengasah rasa, mengolah budi, dan memekakan pikiran. Bukankah itu cikal bakal moral dan akhlak? Sementara, lembaga sekolah adalah peletak batu ertama dan kepribadian seseorang (tentu saja juga orangtua), yang kelak manjadi penyangga moralitas. Rasanya, pendidik negeri ini telah begitu lama mengabaikan, bahkan nyaris tak peduli dengan pendidikan sastra yang memadai kepada anak didik kita.
Ada beberapa realita yang membuktikan tentang minimnya pembelajaran sastra. Pertama, dimulai dari kepedulian orangtua untuk mengajarkan sastra kepada anaknya. Harus diakui tradisi mendongeng orangtua kepada anaknya, yang sudah turun temurun dimiliki negeri ini, kini sudah makin terkikis. Orangtua lebih mementingkan anaknya agar bisa cepat berhitung dan mengerti bahasa asing misalnya, ketimbang anak disuguhi segudang buku cerita (sastra).
Kedua,jika diadakan penelitian ke seluruh pelosok negeri ini terkait pendidikan usia dini, pendidikan yang berbasis sastra secara ideal tidak mudah ditemukan. Kalaupun ada, barangkali hanya akan ditemukan satu atau dua saja.
Ketiga, sampai saat ini porsi pengajaran sastra hanya mendapat bagian kecil dari pengajaran bahasa. Ketersediaan gurusastra yang mumpuni di sekolah-sekolah juga sangat terbatas. Begitupun dengan pemanfaatan bahan ajar sastra yang belum optimal.
Keempat, penelitian taufiq Ismail di Tahun 1997-2005 menunjukkan betapa sastra tidak diperkenalkan padasiswa-siswi hingga mereka menyelesaikan SMA. Menurut Taufiq Ismail, sebagian besar siswa-siswi di Indonesia berhasil menyelesaikan NOL karya! Betapa mengenaskannya nasib sastra dalam pendidikan kita.apalagi jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Malaysia misalnya, mewajibkan 6 judul karya, swiss dan jepang 15 judul, dan Amerika sekitar 32 judul.
Kelima, dalam mimbar kebudayaan sastra dan revolusi di Yogyakarta pada juli 2010 lalu, Max Lane, penerjemah sejumlah karya Pramoedya Ananta Toer ke bahasa inggris, mengatakan, “Indonesia adalah satu-satunya negara di dunia yang tidak memasukkan sastra sebagai mata pelajaran wajib di pendidikan menengah!” bandingkan lagi, jka kita merunut pada masa silam, di zaman AMS Hindia Belanda, siswa diwajibkan membaca buku sastra 25 judul bagi AMS Belanda –A dan 15 judul bagi AMS Hindia Belanda-B. Sementara sekarang? Jelas tidak lagi penurunan, bahkan hampir saja peniadaan. Akibatnya, ketika mereka dewasa, mereka juga bertindak yang jauh dari nilai-nilai moral dan agama seperti yang terjadi dewasa ini. Barangkali ini salah satu penyebab bobroknya akhlak pemuda saat ini, sehingga terjadi tawuran, kekerasan dan kejahatan di mana-mana.






B.  PEMBAHASAN
1.    Sastra dan pendidikan akhlak
a.         Sastra
Ada banyak tokoh yang mengartikan sastra, sehingga begitu banyak pula definisi sastra, namun secara garis besar dapat dilihat dari segi ontologi dan etimologi sebagai berikut,
·      Pengertian sastra secara ontologi. Sastra merupakan cabang karya seni, yaitu hasil cipta dan ekspresi manusia yang estesis (indah). Seni sastra sama kedudukannya dengan seni-seni lainnya, seperti seni musik, seni lukis, seni tari, dan seni patung, yang diciptakan untuk menyampaikan keindahan kepada penikmatnya. Namun, meskipun tujuannya sama yaitu media menyampaikan estetika, tetapi medianya berbeda. seni musik keindahannya disampaikan dengan media bunyi dan suara; seni lukis keindahannya dengan media warna; seni tari keindahannya disampaikan dengan media gerak; seni patung keindahannya disampaikan dengan media pahatan; sedangkan seni sastra keindahannya dengan media bahasa. Dari sinilah bahasa menempati posisi urgen sebagai perwujudan diri sastra, dan bahasa dalam perkembangannya juga ditentukan oleh sastra, yaitu sastra melakukan eksplorasi kreativitas bahasa, baik dalam kata, frasa, klausa, dan kalimat, yang tujuannya untuk mencapai estetis. Fungsi bahasa dalam hal ini adalah sebagai penghubung. Fungsi primer meidium bahasa secara langsung dapat diamati melalui hubungan-hubungan sosial dalam kehidupan praktis sehari-hari.[1] Oleh karenanya, Werren dan Wellek (1956) kemudian mendefinisikan sastra sebagai karya imajinatif yang bermediakan bahasa dan mempunyai estetika dominan.
·       Definisi sastra juga banyak dikemukakan berdasarkan tinjauan secara etimologi. Menurut Teew[2], kata “sastra” itu sepengertian dengan kata litterature (inggris) yang berarti “huruf atau tulisan”, literatur (jerman) yang berarti “huruf atau tulisan”, schriftum (jerman) yang berarti “segala sesuatu yang tertulis”, dichtung (jerman) yang berarti “tulisan yang tidak berkaitan dengan langsung dnegan kenyataan, jadi bersifat rekaan”, litteratur (perancis) yang berarti “huruf atau tulisan”, litteratura (latin) yang berarti “huruf atau tulisan”, literkunde (belanda) yang berarti “huruf atau tulisan yang indah”, wen (cina) yang berarti “ikatan, tenunan, pola, struktur”, bun (jepang) yang berarti “ilmu sastra”, dan adab (arab) yang berarti “kebudayaan, tamaddun”.
               Lebih lanjut, Teew[3], juga menerangkan bahwa kata sastra berasal dari bahasa sansekerta yang terdiri dari akar kata Cas atau sas dan-tra. Cas atau sas dalam bentuk kata kerja turunan yang berarti mengarahkan, mengajar, memberikan sesuatu petunjuk ataupun instruksi. Akhiran –tra menunjukan sarana atau alat. Oleh karena itu, Sastra berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi ataupun pengajaran. Istilah susastra sendiri pada dasarnya berasal dari awalan su yang memiliki arti “indah, baik” sehinga susastra dibandingkan atau disejajarkan dengan belles-letters. Sastra juga sering dipersamakan dengan bentuk-bentuk fisik seperti buku atau kitab yang berisi tulisan yang indah, mendidik, ataupun kitab-kitab pengajaran.
               Sementara, dalam tradisi China atau Tionghoa, khususnya merujuk pada tradisi konfusianisme, sastra diposisikan sebagai suatu alat atau cara untuk memahami realitas atau jalan hidup di dunia yang disebut dao. Sastra dalam masyarakat cina merupakan bagian dari satu kestuan yang disebut dengan wen yang dalam Kamus Besar Cina-Indonesia memiliki beberapa pengertian, antara lain; (1) huruf, tulisan, aksara, prasasti pada benda-benda kuno, (2) bahasa baik tulis maupun lisan, (3) tulisan, karangan yang mencerminkan orangnya, karya tulis, (4) bahasa sastra dan bahasa klasik, (5) kebudayaan, peradaban, dan peninggalan sejarah, (6) halus, sopan.[4]

b.      Pendidikan akhlak dalam sastra
Pada dasarnya pendidikan akhlak[5] menempati posisi sangat penting dalam Islam, karena kesempurnaan Islam seseorang tergantung kepada kebaikan dan kemuliaan akhlaknya. Manusia yang dikehendaki Islam adalah manusia yang memiliki akhlak yang mulia, manusia yang seperti inilah yang akan mendapatkan kebaikan di dunia dan di akhirat.[6] Untuk itu diperlukan adanya pendidikan akhlak yang tidak sebatas pada aspek kognitif saja melainkan sampai pada aspek afektif dan psikomotornya.
Pendidikan akhlak menekankan pada sikap, tabiat dan perilaku yang menggambarkan nilai-nilai kebaikan yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan anak didik dalam kehidupan sehari-hari. Rasulullah SAW menganjurkan kepada umatnya untuk memperhatikan akhlak anak dengan baik, karena akhlak ini merupakan implikasi dan cerminan dari kedalaman tauhid kepada Allah SWT.[7]
Akhlak yang baik atau akhlakul karimah, yaitu sistem nilai yang menjadi asas perilaku yang bersumber dari Al-qur’an, As-Sunnah, dan nilai-nilai alamiah (sunnatullah).[8] Pendidikan akhlak merupakan faktor yang sangat penting dalam menciptakan kehidupan yang harmonis berdasarkan tata nilai Islam, karena dengan akhlak yang baik maka akan tercipta manusia-manusia yang memiliki kualitas moral yang baik pula. Menjadi sangat penting apabila kita memberikan pendidikan akhlak kepada anak sejak usia dini, karena anak adalah generasi penerus bangsa yang kelak akan menjadi manusia yang diharapkan mampu menjadi panutan bagi banyak orang.
Salah satu cara Pendidikan akhlak yang efektif adalah dengan pembelajaran sastra. Sebagaimana  pengertian secara garis besar tentang sastra di atas, bahwa dua hal yang terpenting dalam sastra adalah nilai dan keindahan.[9] Satra menyampaikan makna atau nilai kepada pembacanya dengan medium kode yaitu bahasa, sebagaimana dikatakan Raman Selden[10]
An addresser sends a message to an addressee; the message uses a code (ussualy a language familiar to both addresser and adrressee); the message has a context (or “referent”) and is transmitted trough a contact (a medium, such as speech, telephone, or writing)
Nilai seperti halnya pengetahuan berakar pada dan diperoleh dari sumber-sumber obyektif. Sedangkan sifat-sifat nilai tergantung dari pndangan yang timbul dari realisme dan isealisme. Kedua aliran ini menyangkut masalah nilai dengan semua aspek peri kehidupan manusia yang berarti meliputi pendidikan.[11] Kulaitas nilai tidak dapat ditentukan secara konseptuil, melainkan tergantung dari apa atau bagaimana keadaannya bila dihayati oleh subyek tertentu dan selanjutnya akan begantung pula dari sikap subjek tersebut. Ini berarti, bahwa sastra sebagai mediasi nilai, dan seberapa banyak nilai yang diambil, merupakan cerminan dari seberapa dalam sastra itu dikaji dan diapresiasi. Nilai yang dimaksud di sini adalah nilai-nilai akhlak, atau budi luhur, dan kepekaan sosial, yang dibawa oleh sastra.
Sementara itu, konsep keindahan yang ada pada sastra, mengacu pada keindahan kehidupan yang dilukiskan dan digambarkan dalam karya sastra, dan keindahan bahasa yang digunakan untuk menyampaikan kehidupan tersebut.[12] Nilai keindahan adalah suatu kenikmatan dalam pengalaman bila kognisi dan perasaan bercampur atau saling memepengaruhi.[13] Sehingga, kneikmatan seseorang menikmati keindahan itu merupakan perpaduan antara pengalman, persepsi dan perasaan. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila pada zaman dulu, sastra merupakan media pembelajaran yang banyak disukai orang untuk menyampaikan nilai atau pesan moral atau akhlak kepada orang lain, seperti seorang ibu yang meninabobokan anaknya dengan mendongeng, misalnya, karena dengan nilai setetika, maka sastra diterima oleh segenap kalangan masyarakat.
Daiches (1964) mengacu pada Aristoteles yang meilhat sastra sebagai suatu karya yang “menyampaikan suatu jenis pengetahuan yang tidak bisa disampaikan dengan cara lain”, yakni suatu cara yang memberikan kenikmatan yang unik dan pengetahuan yang memperkaya wawasan pembacanya.[14]  Di sinilah peran penting sastra dalam mentransmisikan “pesan” tentang penanaman akhlak. Sebab, dalam sastra ada komunikasi, yang kemudian dinamakan komunikasi linguistik berikut yang ditemukan Roman Jakobson,[15]
PENGIRIM
PENDENGAR
KONTEKS
PESAN
HUBUNGAN
KODE
 




Dari bagan itulah, tergambar jelas, bagaimana alur penyampaian pesan melalui bersastra, dan satu hal yang penting adalah “pesan” itu melingkupi, budi luhur atau akhlak yang baik, karena sastra menghaluskan budi. Akhlak itu jugalah yang paling penting ditanamkan orangtua semenjak dini, sebagaimana diutarakan Syekh ‘ulama al askandariyah[16]
اَنْ اَرَكَ صَحِيْحَ البِنْيَةِ قَوِيَّ الاِدْ رَاكِ زَكِيَّ القَلْبِ مُهَذَّبَ الاَخْلاَقِ مُحاَ فِظً عَلئَ اْلاَدَابِ بَعِيْداً
عَنِ اْلفُخْشِ فِئ اْلقَوْ لِ لَطِيْفَ الْمُعاَ شَرَ ةِ مَحْبُوْ باً مِنْ اِخْواَ نِكَ
Penanaman nilai-nilai akhlak dalam sastra, juga diasmpaikan al-Syaibany yang  mengutip perkataan para sahabat nabi dan filsuf slam, antara lain: perkataan  Umar bin Khattab ra. Dalam wasiat yang disampaikannya kepada gubernur-gubernur: “sesudah itu ajarkanlah kepada anak-anakmu berenang dan menunggang kuda dan ceritakan kepada mereka adab  sopan santun dan syair-syair”. Kata Hisyam bin Abdul Malik kepadaSulaiman al-Kalby, guru anaknya: “sesungguhnya anakku ini adalah cahaya mataku, saya percayakan kepadamu mengajarnya. Hendaklah engkau bertaqwa kepada Alloh dan tunaikanlah amanat. Dan yang petama-tama saya wasiatkan kepadamu agar engkau mengajarkan kepadanya Al qur’an,kemudian hafalkan kepadanya syair-syair arab yang terbaik, kemudian ajak dia berjalan-jalan  di kampung-kampung arab dan beri kepadanya syair-syair yang berguna. Ajarkan kepadanya yang halal dan haram, juga tentang khutbah dan pidato yang membangkitkan semangat”.
Sementara itu Al jahiz telah menetapkan kurikulum yang rinci bagi pelajar-pelajar pada tahap pertama ini. Beliau menyebutkan : “jangan dipenuhi kepala anak-anak dengan ilmu nahwu kecuali untuk sekedar menjaganya dari bahasa yang buruk agar kalau ia menulis kitab, orang awam dapat memahaminya, dan kalau membaca syair ia dapat memahaminya, atau kalau ia meletakkan sesuatu ia memahami tujuannya. Juga diajarkan sedikit ilmua hitung, tetapi jangan ilmu ukur dan ruang. Juga diajarkan membaca karangan sastrawan-sastrawan supaya dapat memahami maknanya.”
Dari keterangan tersebut, terbuktilah bahwa para ulama terdahulu sekalipun, telah mengakui keberadaan sastra yang sangat penting, karena pengaruhnya terhadap penanaman nilai akhlak kepada anak. Demikian bahwa sastra memliki peranan penting dalam perkembangan akhlak,moral,sosial dan psikologi pembacanya, yaitu dengan menanamkan, menumbuhakan, dan mengembangkan kepekaan terhadap norma-norma manusiawi,pengenalan dan rasa hormatnya terhadap tata nilai, baik dalam konteks individual maupun sosial.
2.        Problematika pengajaran sastra
Pengajaran bahasa dan sastra di berbagai jenjang pendidikan selama ini sering dianggap kurang penting dan dianaktirikan oleh para guru, khususnya guru yang pengetahuan dan apresiasi sastra dan budayanya rendah. Hal ini menyebabkan mata pelajaran yang notabene mnenarik dan besar sekali manfaatnya bagi para siswa ini disajikan hanya sekedar memenuhi tuntutan kurikulum. Tak heran jika pelajaran menjadi kering, kurang hidup, dan enderung kurang mendapat tempat di hati siswa. Padahal, bila kita kaji secara mendalam, tujuan pengajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah dimaksudkan untuk menumbuhkan ketrampilan, rasa cinta, dan penghargaan para siswa terhadap bahasa dan sastra Indonesia sebagai bagian dari budaya warisan leluhur. Dengan demikian, tugas guru bahasa Indonesia tidak hanya memberi pengetahuan (aspek kognitif), tetapi juga keterampilan (aspek psikomotorik) dan menanamkan rasa cinta (aspek afektif).
Dalam pengajaran sastra, terdapat beberapa problematika yang harus segera diatasi oleh guru bahasa dan sastra di sekolah. Hal ini kita pandang perlu, karena problematika pengajaran sastra menyebabkan kurang optimalnya pengajaran sastra di sekolah. Problematika yang terjadi adalah sebagian besar guru bahasa dan sastra di sekolah kurang menumbuhkembangkan minat dan kemampuan siswa dalam hal sastra. Sebenarnya, guru bahasa dan sastra Indonesia dapat mengusahakan karya sastra siswa dimuat di media massa, dalam bentuk buku sastra, dan media elektronik, yakni internet dan radio. Hal ini dirasa perlu dalam menumbuhkembangkan potensi sastra yang ada dalam diri siswa. Mereka akan tertantang untuk membuat dan mempublikasikan karya sastra mereka secara luas dan kontinu. Kenyataan yang lebih memprihatinkan, sebagian besar guru bahasa dan sastra tidak menjadi contoh sebagai orang yang aktif membuat dan mempublikasikan karya sastra di media massa, buku sastra dan media elektronik. Atau, guru mengajak bersama-sama dengan muridnya agar karya mereka dimuat bersamaan dalam majalah sastra, semisal Horison, sebagai majalah sastra terbesar di Indonesia, yang mana ada rubrik kaki langit, tempat pemuatan karya anak sekolah, yang juga diikuti esaiy atau artikel pendek dari guru sastra tentang perkembangan sastra yang terjadi di sekolahnya.
Agus R Sarjono[17], sastrawan dan kritikus sastra, menuturkan bahwa telah terjadi disorientasi dala pengajaran sastra di sekolah, menurutnya, gagalnya pengajaran sastra di sekolah terjadi akibat kesalahan guru di sekolah yang telah mengingkari hakikat yang melandasi lahirnya pengajaran sastra ini. Sementara itu, Ahmadun Yosi Herfanda mengungkapkan bahwa pengajaran sastra di sekolah sampai saat ini belum berjalan secara maksimal. Indikator utama yang mempengaruhinya adalah rendahnya apresiasi dan minat baca rata-rata siswa dan lulusan SMU terhadap karya sastra. Bahkan, dalam pengetahuan aspek sastra saja, mereka umumnya juga masih sempit, tidak seluas pengetahuan mereka tentang dunia artis dan selebriti.
Sesungguhnya yang menjadi akar permasalahan  adalah sistem pendidikan kita. Kurikulum pendidikan saat inidianut tidak pernah membrikan ruang gerak yang leluasapada pembelajaran sastra. Orientasipemerintah dalampembangunan bidang pendidikan masih melenceng jauh dari hakikat tujuan pendidikan itu sendiiri.sistem pendidikan di Indonesia acapkali memaksa sekolah sebagai penyelenggaraan pendidikan dan guru mengingkari hakikat pemdidikan. Target perolehan nilai tertentu ysng harus dicapai dengan standar penilaianUjian Nasional,memicupeningjkatan tujuan pendidikan yang sebenarnyasehingga tidak urung memaksaguru bahasa menomorduakan sastra.
3.     Pengajaran sastra di sekolah
Peran sastra  dalam membentuk generasi akan datang yang berakhlak mulia perlu direalisasikan. Oleh karena itu,orangtua dan guru wajib membimbing perkembangan anak-anak ke arah yang positif agar mereka kelakmenjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna dalamkehidupan. Salah satu jalan untuk mencapai tujuan tersebut adalah sastra yang sesuai dengan perkembangan anak.
Krisis moral dan akhlak menjalar dan menjangkiti bangsa ini. Betapa pemuda, sebagai generasi penerus bangsa kini mengalami dekadensi akhlak di sana sini. Hampir setiap hari selalu ada berita kriminal yang sebagian pelakunya adalah pelajar, pemuda. Sungguh sangat miris melihat kenyataan seperti itu, belum lagi kasus bentrokan atau tawuran yang acap kali terjadi hanya karena hal sepele. Jika sudah demikian, siapakah yang pantas disalahkan? Apakah pendidikan kita belum bisa mengejewantahkan nilai-nilai akhlak kepada pelajar?
Nilai-nilai yang terkandung di dalam karya sastra diresepsi oleh anak dan secara tidak sadar merekonstruksi sikap dan kepribadian mereka.karya sastra  selain merangsang imajinasi kreatifitas anak, juga dapat menanamkan nilai-nilai akhlak. Selain itu, Melalui sastra,anak-anak dapat menemukan berbagai kemampuan yang mereka miliki.menurut Joan Glazer,peran sastra dalam membantu perkembangan sosialisasi,meliputi, (1) sastra memperlihatkan kepada anak-anak bahwa banyak dari perasaan merka juga dialami oleh anak-anak yang lainnya semua itu wajar secara ilmiah, (2) sastra menjelajahi serta meneliti dari berbagai sudut pandang memberikan suatu gambaran yang utuh dan bulat, memberikan dasar penanaman emosi tersebut,(3) perilaku para tokoh memperlihatkan berbagai pikiran mengenai cara-cara menggarap emosi-emosi tersebut, (4) sastra turut memperjelas bahwa seorang manusia mengalami berbagai perasaan dan perasaan tersebut kadang bertentangan serta memperlihatkan konflik. Dari nilai-niali perkembangan sosialisasi tersebut,anak akan memahami betapa manusia saling membutuhkan dan memiliki perasaan yang sama, ini yang kemudian akan menanamkan rasa kepedulian terhadap sesama, inilah perwujudan akhlak yang baik.
Dewasa ini, orangtua tidak lagi mengutamakan soal pendidikan akhlak kepada anak-anaknya. Sebagian besar orangtua kini kebanyakan memilih memberikan pendidikan di bidang-bidang yang bisa mengahsilkan uang yang banyak atau yang menjanjikan masa depan cerah. Para orangtua lebih memilih menyekolahkan anaknya di sekolah elit dengan biaya yang mahal ketimbang menyekolahkan di pesantren atau sekolah berbasis agama.
Kemajuan suatu bangsa mustahil terwujud jika kecerdasan, kepandaian, atau ketrampilan SDM nya tidak dilandasi dengan keimanan dan akhlak yang mulia. Justru kepandaian dan ketrampilan tanpa moral dan akhlak mulia akan cenderung menjerumuskan dan mencelakakan. Dimensi moral dan akhlak erat kaitannya dengan dimensi watak. Setiap individu memiliki penilaian moral yang berbeda-beda. Itu pun tergantung watak dari tiap-tiap individu.
Krisis moral dapat diatasi dengan pendidikan akhlak. Dalam lingkup sekolah, misalnya, pembinaan akhlak dapat diterapkan melalui pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Artinya pengajaran sastra yang berdimensi akhlak. Sebenarnya, pengajaran sastra mampu dijadikan sebagai pintu masuk dalam penanaman nilai-nilai akhlak. Nilai-nilai akhlak banyak ditemukan dalam karya-karya sastra, baik puisi, cerpen, novel maupun drama. Bila karya itu dibaca, dipahami isi dan maknanya, serta ditanamkan pada diri siswa, maka siswa akan menjunjung nilai-nilai akhlak.
Pembinaan akhlak menjadi tanggung jawab semua elemen sekolah. Dari kepala sekolah, guru, BK, OSIS, hingga siswa sendiri. Dalam upaya itu, memang membutuhkan waktu yang lama guna mengubah aklak yang amoral menjadi akhlak yang bermoral. Pengajaran sastra di sekolah dapat mengatasi hal tersebut. Namun pengajraran sastra di negara kita sangatlah minim, bahkan penyair Taufiq Ismail sesuai penelitiannya, mengatakan siswa SMU Indonesia tidak satupun ada buku wajib sastra yan dibaca. Jika bercermin pada masa lalu, di zaman AMS Hindia Belanda, siswa diwajibkan membaca buku sastra sebanyak 15 sampai 25 judul. Ini menunjukkan betapa penurunan terjadi dalam pendidikan Indonesia. Padahal, kurangnya siswa belajar sastra justru mengakibatkan siswa semakin jauh dari nilai-nilai akhlak. Akibatnya, ketika mereka dewasa, mereka juga bertindak jauh dari nilai-nilai moral dan agama seperti yang terjadi dewasa ini.
4.      Pengajaran Sastra sebagai media penanaman nilai-nilai akhlak
Hakikat pengajaran sastra adalah suatu proses belajar-mengajar yang bertujuan membina siswa agar menjadi manusia yang  dapat bermasyarakat dengan baik, yaitu manusia yang memiliki akhlak yang baik. Maka dari itu, pengajaran sastra yang dilaksanakan dengan baik tentu dapat menanamkan pengetahuan dasar tentang apresiasi, membekali ketrampilan dalam mengaprtesiasi sastra, dan dapat membentuk dan mengembangkan kepribadian, kejujuran dan akhlak pada siswa.
Agus R. Sarjono[18] mengatakan bahwa kondisi pengajaran sastra sejauh ini sangatlah mengecewakan. Fenomena ini menimbulkan keprihatinan di berbagai kalangan, sperti praktisi pendidikan, sastrawan atau budayawan, serta pengajar. Sebenarnya pengajran sastra di sekolah memiliki peluang besar untuk meningkatkan kemampuan apresiasi dan minat siswa terhadap sastra. Namun peluang tersebut sejauh ini belum termanfaatkan diantaranya menurut Noer Toegiman disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu, faktor buku pengajaran sastra yang kurang memadai, sarana yang kurang representatif, guru yang kurang profesional dalam bidang sastra, serta sistem ujian sastra sendiri yang kurang tepat.[19]
Pengajaran sastra memiliki peran bagi pemupukan kecerdasan siswa dalam semua aspek, termasuk akhlak. Melalui apresiasi sastra, misalnya, keerdasan intelektual, emosional, dan spiritual siswa dapat dilatih, serta dikembangkan. Siswa tak hanya terlatih untuk membaca saja tetapi juga mampu mencari makna dan nilai-nilai dalam sebuah karya sastra. Karena di dalam sastra terkandung tiga muatan, yaitu, imajinasi, pengalaman, dan nilai-nilai.
Modal apresiasi sastra yang memadai akan menciptakan output pendidikan yang lebih arif dan bijak. Dalam konteks ini, sastra menjadi sangat penting. Tidak hanya semata sastra berperan dalam penanaman fondasi keluhuran pekerti, melainkan sastra juga memiliki andil dalam pembentukan karakter yang jujur sejak dini. Melalui pergulatan dan pertemuan intensif dengan teks-teks sastra, para siswa akan mendapatkan bekal pengetahuan yang mendalam tentang manusia, hidup, dan kehidupan, serta berbagai kompleksitas problematika dimensi hidup.
Oleh karena itu, apresiasi sasra yang baik seyogyanya relevan dengan empat ketrampilan berbahasa, yakni menyimak, berbicara, membaca dan menulis. Jika itu terwujud, penulis yakin, siswa dapat mempertajam perasaan, penalaran, daya khayal, serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya dan lingkungan hidup. Dengan membaa kartyasastra, diharapkan sejumlah nilai-nilai moral bisa dipahami, serta dipraktikkan siswa, baik di sekolah, rumah maupun masyarakatnya.
5.    Apresiasi sebagai teknik  pengajaran Sastra
Istilah apresiasi berasal dari bahasa inggris appreciation, yang berarti mengindahkan atau menghargai, yaitu segala hal yang berhubungan dengan penghargaan terhadap sesuatu.[20] Dalam pada ini, penghargaan adalah suau sikap yang menghargai karya sastra, yaitu menyadari bahwa karya sastra adalah sebuah produk kebudayaan yang berharga karena di dalamnya ada pesan-pesan (makna) yang berguna bagi masyarakat. Aristoteles, misalnya, menyebutkan bahwa karya sastra itu bisa memberikan katarsis atau penyucian jiwa pada pembacanya, yaitu setiap orang yang intens membaca karya sastra pasti mempunyai perasaan yang halus, lembut, dan baik.[21] Sedangkan Horatius dalam bukunya Art Poetica, menyatakan fungsi karya sastra adalah dulte et utile, artinya sastra mempunyai fungsi ganda yaitu menghibur dan sekaligus bermanfaat.[22] Menghibur karena karya sastra berisi cerita tentang kehidupan yang unik, menarik, dan menyenangkan sehingga disukai oleh banyak orang; dan bermanfaat karena dalam kehidupan yang diceritakan itu sarat dengan pesan makna yang bisa didapat oleh pembaca.
Ada beberapa Pengertian apresiasi sebagai bentuk penghargaan yang disampaikan beberapa tokoh, antara lain; (1) Panuti Sudjiman (1990) yang mendefiniskan apresiasi sebagai bentuk penghargaan terhadap karya sastra yang didasarkan pada pemahaman pembaca; (2) T. Suparman Natawijaya (1981), yang menyebut bahwa apresiasi adalah penghargaan dan pemahaman terhadap suatu hasil seni dan budaya, termasuk karya sastra. Sementara definisi apresiasi sebagai bentuk penilaian, disampaikan oleh; (1) Tarigan (1984), yang mendefinisikan apresiasi sebagai penaksiran kualitas karya sastra serta pemberian penilaian yang wajar kepaanya berdasarkan pengamatan dan pengalaman yang sadar dan kritis; (2) Hornby (1972) bahwa apresiasi adalah penimbangan, penilaian, pemahaman, dan pengenalan terhadap karya sastra secara memadai.[23]
Dari pengertian-pengertian di atas, hal paling fundamental dalam apresiasi terhadap karya sastra adalah pembacaan karena seseorang akan bisa menghargai dan menilai sesuatu, yang didahului dengan pengenalan. Dengan demikian, Apresiasi berkaitan dengan pembacaan terhadap karya sastra. Dalam konteks yang lebih luas, dengan merujuk pengertian apresiasi, yang menurut Grove[24], mengandung dua makna, yaitu (1) pengenalan melalui perasaan dan kepekaan batin, dan (2) pemahaman dan penilaian terhadap nilai-nilai keindahaj yang diungkapkan dalam karya sastra.
Apresiasi terhadap karya sastra, menurut Squire dan Taba[25], akan melibatkan tiga unsur, yaitu


a). Aspek Kognitif
Aspek ini berkaitan dengan keerlibatan intelektual pembaca dalam upaya memahami undur-unsur kesastraan yan bersifat intrinsik dan ekstrinsik. Unsur-unsur ini merupakan unsur yang ada dalam karya sastra seperti, fakta cerita, sarana cerita, dan tema. Sedangkan unsur ekstrinsiknya berhubungan dengan unsur-unsur yang ikut membangun karya sastra, tetapi berasal dari luar karya sastra, misalnya pembaca, lingkungan, dan pengarangnya. Aspek kogbitif ini, berkaitan dengan aspek penjelasan (explanation) terhadap karya sastra.
Menurut Paul Ricoeur, penjelasan (explanation) adalah analisis terhadap karya sastra sebagai objek, yaitu mengungkapkan makna yang ada daam karya sastra. Proses penjelasan ini merupakan tahap dasar yang dilakukan pembaca dalam memahami karya sastra. Selanjutnya, pemnbaca melakukan pemahaman (understanding), yaitu menghubungkan apa yang dimaksud oleh karya sastra (makna objektif karya) dengan dunia di luarnya dengan berdasarkan pada perspektif pembaca.[26]Jadi pemahaman merupakan sebuah refleksi pembaca atas keterkaitan makna tekstual karya sastra dengan makna kontekstualnya.
b). Aspek emotif
Aspek ini berkaitan degan keterlibatan unsur emosi pembaca dalam upaya menghayati unsur-unsur keindahan dalam karya sastra yang dibaca. Aspek emosi ini berperan dalam memahami karya sastra dengan cara subjektif pembaca, setelah melalui proses kognitif atau penjelasan. Jadi, pada aspek emotif ini pemaknaan pembaca lebih bersifat reflektif, yaitu membiarkan diri menemukan makna dan nilai-nilai dari karya sastra yang dibacanya.

c). Aspek evaluatif
Aspek ini berhubungan dengan kegiatan memberikan penilaian terhadap karya sastra yang dibacanya. Aspek ini sudah sampai pada tataran kritis, yaitu setelah pembaca (apresiator) mengerti unsur-unsur yang membangun karya sastra dan memahami makna dan nilai karya sastra.
Dengan demikian, apresiasi memang jalan terbaik untuk pembelajaran sastra dalam upaya menanamkan nilai-nilai pendidikan akhlak, selain itu, apresiasi sastra merupakan salah satu dari edutainment, yaitu pengajaran dengan suasana menyenangkan, sebab, sastra memberikan nilai-nilai dan juga hiburan, dengan bahasa yang kaya dengan estetik atau keindahan. Jadi pengajaran dengan apresiasi sastra, memudahkan dalam menanam nilai-nilai budi luhur, atau akhlak.

C.    PENUTUP
Dewasa ini, era Globalisasi telah memberikan efek yang signifikan, namun, yang memprihatinkan adalah efek yang terjadi justru perubahan yang kurang baik, yaitu dekadensi akhlak yang banyak terjadi pada generasi muda. Maka, pendidikan menjadi sorotan utama, apakah pendidikan mampu menanamkan akhlak atau tidak. Oleh karena itu sangat diperlukan pendidikan akhlak yang efektif dan efisien.
Pada dasarnya pendidikan akhlak menempati posisi sangat penting dalam Islam, karena kesempurnaan Islam seseorang tergantung kepada kebaikan dan kemuliaan akhlaknya. Salah satu cara Pendidikan akhlak yang efektif adalah dengan pembelajaran sastra. Nilai-nilai yang terkandung di dalam karya sastra diresepsi oleh anak dan secara tidak sadar merekonstruksi sikap dan kepribadian mereka.karya sastra  selain merangsang imajinasi kreatifitas anak, juga dapat menanamkan nilai-nilai akhlak.
Pengajaran sastra memiliki peran bagi pemupukan kecerdasan siswa dalam semua aspek, termasuk akhlak. Melalui apresiasi sastra, misalnya, keerdasan intelektual, emosional, dan spiritual siswa dapat dilatih, serta dikembangkan. Siswa tak hanya terlatih untuk membaca saja tetapi juga mampu mencari makna dan nilai-nilai dalam sebuah karya sastra. Karena di dalam sastra terkandung tiga muatan, yaitu, imajinasi, pengalaman, dan nilai-nilai.
Hakikat pengajaran sastra adalah suatu proses belajar-mengajar yang bertujuan membina siswa agar menjadi manusia yang  dapat bermasyarakat dengan baik, yaitu manusia yang memiliki akhlak yang baik. Maka dari itu, pengajaran sastra yang dilaksanakan dengan baik tentu dapat menanamkan pengetahuan dasar tentang apresiasi, membekali ketrampilan dalam mengaprtesiasi sastra, dan dapat membentuk dan mengembangkan kepribadian, kejujuran dan akhlak pada siswa.
Modal apresiasi sastra yang memadai akan menciptakan output pendidikan yang lebih arif dan bijak. Dalam konteks ini, sastra menjadi sangat penting. Tidak hanya semata sastra berperan dalam penanaman fondasi keluhuran pekerti, melainkan sastra juga memiliki andil dalam pembentukan karakter yang jujur sejak dini. Melalui pergulatan dan pertemuan intensif dengan teks-teks sastra, pembaca akan mendapatkan bekal pengetahuan yang mendalam tentang manusia, hidup, dan kehidupan, serta berbagai kompleksitas problematika dimensi hidup.

D.    DAFTAR PUSTAKA

A. Teew. 1988. Sastera dan ilmu sastera;Pengantar teori sastera. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.
Ali, Zainuddin. 2007 .Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Bumi Aksara.
Al Munawar, Said Agil Husin. 2005.Aktualisasi Nilai-nilai Qur’ani: Dalam Sistem Pendidikan Islam,  Ciputat: Press.
Aminudin. 2002 . Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung : Sinar Baru Algesindo.
As, Asmaran. 1992. Pengantar Studi Akhlak. Jakarta: Raja Grafindo Persada..
Azmi, Muhammad. 2006. Pembinaan Akhlak Anak Usia Pra-Sekolah, Yogyakaarta: Belukar.
Barnadib, Imam.  Filsafat Pendidikan,sistem dan metode. Jogjakarta: Andi Offset.
Budianta, Melani. 2008. Membaca Sastra; Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi. Magelang : Indonesiatera.
Depsiknas.  2003 Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional dan Balai Pustaka.
Iskandariyah, Syekh ‘ulama. Kitab Washoya Al Abna’u Lil Abna’
Kurniawan, Heru.  2009 Sastra Anak, dalam kajian Strukturalisme, Sosiologi, Semiotika, hingga penulisan Kreatif. Jogjakarta: Graha Ilmu.
Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Jogjakarta : Pustaka Pelajar.
Saryono, Djoko. 2009. Dasar Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Elmatera.
Sarjono, Agus R. 2001. Sastra dalam Empat Orba. Jogjakarta : Yayasan Bentang Budaya.
Sayuti, Suminto A. 1985. Puisi dan Pengajarannya : Sebuah Pengantar Semarang: IKIP Semarang Press.
Selden, Raman. 1985. A Reader’s Guide to Contemporary Literary Theory. Liverpool :The Harvester Press.
Susanto, Dwi. 2012 .Pengantar Teori Sastra. Yogyakarta: CAPS.



[1] Nyoman Kutha Ratna, Paradigma Sosiologi Sastra, (Jogjakarta : Pustaka Pelajar, 2003) hlm 44
[2] A. Teew, Sastera dan ilmu sastera;Pengantar teori sastera. (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1988) hlm 22.
[3] Ibid hlm 24.
[4] Dwi Susanto, Pengantar Teori Sastra. (Yogyakarta: CAPS, 2012) hlm 2.
[5] Asmaran As, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1992), hlm.   2-3.
Pendidikan Akhlak merupakan suatu proses mendidik, memelihara, membentuk dan memberikan latihan mengenai akal dan kecerdasan berpikir baik bersifat formal maupun informal yang didasarkan pada ajaran-ajaran Islam.
[6] Muhammad Azmi, Pembinaan Akhlak Anak Usia Pra-Sekolah, (Yogyakaarta: Belukar, 2006), hlm. 54.
[7] Said Agil Husin Al Munawar, Aktualisasi Nilai-nilai Qur’ani: Dalam Sistem Pendidikan Islam,  (Ciputat: Press,2005), hlm. 8.
[8] Zainuddin Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), hlm. 31.
[9] Heru Kurniawan, Sastra Anak, dalam kajian Strukturalisme, Sosiologi, Semiotika, hingga penulisan Kreatif. (Jogjakarta: Graha Ilmu, 2009) hlm 21.
[10] Raman Selden, A Reader’s Guide to Contemporary Literary Theory. (Liverpool :The Harvester Press, 1985). Hlm 3.
[11]  Imam Barnadib. Filsafat Pendidikan,sistem dan metode. (Jogjakarta: Andi Offset,) hlm 50
[12] Heru Kurniawan. Sastra anak....hlm 21.
[13] Op. Cit. Hlm 51.
[14] Melani budianta, dkk. Membaca Sastra. (Jakrarta : Indonesia Tera, 2008) hlm7
[15] Heru Kurniawan. Sastra Anak....hlm 57.
[16] Syekh ‘ulama Iskandariyah. Kitab Washoya Al Abna’u Lil Abna’
[17] Agus R. Sarjono, Sastra dalam Empat Orba,,,,hlm 207-209.
[18] Agus R. Sarjono. Sastra dalam Empat Orba. (Jogjakarta : Yayasan Bentang Budaya, 2001) hlm.207
[19] Suminto A. Suyuti. Puisi dan Pengajarannya : Sebuah Pengantar (Semarang: IKIP Semarang Press, 1985), hlm 4.
[20] Depsiknas. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional dan Balai Pustaka, 2003) hlm 62
[21] Heru Kurniawan. Sastra Anak....hlm 6
[22] Melani Budianta. Membaca Sastra; Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi. (Magelang : Indonesiatera, 2008) hlm. 19
[23] Djoko Saryono. Dasar Apresiasi Sastra. (Yogyakarta: Elmatera, 2009) hlm 32-33.
[24] Aminudin. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. (Bandung : Sinar Baru Algesindo, 2002) hlm.34
[25] Ibid, Hlm 34
[26] Heru Kurniawan. Sastra Anak,,,,,hlm 10