Minggu, 23 September 2012

proses kreatif Dimas Indianto S.

ISTIQOMAH DAHULU, KAROMAH KEMUDIAN”
Puisi dan Saya
Sebenarnya saya merasa belum pantas jika saya menuliskan “proses kepenyairan”, karena saya belum merasa menjadi “penyair”. Tetapi tulisan ini ada karena permintaan guru saya Abdul Wachid B.S. untuk menceritakan sedikit perjalanan yang sudah saya lalui bersama puisi.
Perkenalan saya dengan puisi belumlah lama, baru sekitar tahun 2010 atau semester 6 akhir, saya barulah berani menulis, dan itupun masih teramat jelek. Awalnya saya mengenal Abdul Wachid B.S. yang sampai hari ini saya memanggilnya “Ayah”. Berawal dari perkenalan itulah saya mulai membaca karya-karyanya, yang paling saya ingat adalah puisi-puisi beliau dalam buku “Izinkan Aku Mencintaimu”. Dan sebuah judul puisi yang paling aku hafal ketika itu adalah puisi berjudul “Pertemuan”;
Jika Sepasang kupu-kupu saling
 berkejaran di antara bunga-bunga,
bertanya lagikah kita
apa itu cinta

Setelah itu, saya mulai mengakrabi puisi-puisi beliau, dan membuat saya sungguh sangat tertarik menulis puisi.
Sebenarnya, sebelum saya mengenal puisi, pada mulanya saya sangat menyukai dunia melukis. Awalnya, saat masih SMA saya mencoba belajar mendalami dunia melukis meskipun sebenarnya “bakat” melukis sudah saya rasakan semenjak SMP—saat akhir tahun ada tugas membuat mozaik, dan saat itu aku membuat mozaik lukisan pantai di senja hari, tiba-tiba guru kesenian SMP memanggilku ke kantor, ternyata dia meminta agar karyaku itu ditinggal sebagai kenang-kenangan untuk sekolah, dengan alasan karyaku itulah terbaik di antara teman-teman seangkatan, sementara karya yang lain dikembalikan kepada pemiliknya—, tetapi rasa percaya diri baru saya temukan saat SMA.
Adalah Pak Agep—nama aslinya Haris Zulfikar—seorang guru  kesenian SMA yang banyak memberikan sumbangsih terhadap kehidupan berkesenian saya. Ia adalah guru yang sangat luas pengetahuannya mengenai kesenian. Selain sebagai gguru kesenian, ia juga merupakan pelukis dan ketua kelompok Vespa di Daerah saya. Begitu banyak karya yang sudah ia hasilkan, dengan mengikuti banyak pagelaran seni dan pameran-pameran.
Memulai dengan melukis hal-hal yang kecil, rasa ketertarikan saya kepada kesenian semakin menjadi, beberapa kali saya menyetorkan karya untuk dikomentari dan diapresiasi. Semakin hari ketertarika itu mencandu, “melukis” bukan sekedar pekerjaan atau tugas mata pelajaran kesenian semata melainkan menjadi suatu hal yang menghobi bagi diri saya, hampir setiap jam kosong selalu saya manfaatkan untuk membuat lukisan meski hanya sebuah sketsa.
Beberapa bulan berikutnya—tepatnya saat lulusan dari SMA—saya merasakan kehilangan terhadap dunia yang sangat nyaman kusinggahi; melukis!. Sekarang—selepas berpisah dari SMA, lebih tepatnya Pak Agep—, saya tak lagi melukis, entah karena apa, mungkina karena tak ada lagi yang bisa diajak ngobrol tentang seni lukis.
Waktu pun bergulir.
Purwokerto, adalah kota yang teramat asing bagi saya, terlebih saya tidak mempunyai saudara di kota itu. Hari-hari kulewati seperti oranglain, baca buku, kuliah, tidur dan rutinitas biasa tanpa berbau “berkarya”. Maka, muncullah kegelisahan dalam jiwa saya, ada semacam kegalauan yang kurasakan teramat sesak di dada, dan kebosanan yang sangat menyebalkan; karena hari-hari kulewati biasa-biasa saja, tanpa sesuatu yang berarti.
Suatu saat—kalau tidak salah waktu ada acara Perpisahan di SMA, dan saya diundang—Saya bertemu dengan Pak Agep, menyampaikan kegelisahanku, saya menyampaikan bahwa selepas berpisah dengannya tak ada karya yang pernah saya buat. Maka, satu hal yang ia katakan adalah bahwa saya harus menjadi pioneer  di mana pun saya berada, dan kapan pun. Setiap hari hampir selalu saya hayati kata-kata itu, dan saya ingat selalu.
Kegalauan sudah semakin akut, melihat hari-hari terlewati tanpa ada suasana bernuansa “seni”. Maka, saya pun  memilih membaca buku sastra, dan yang kupilih adalah puisi. Mengapa? Karena puisi tidak jauh berbeda dengan lukisan. Antara puisi dan lukisan adalah sama-sama menyampaikan “rasa” dengan simbol. Jika di dalam “lukisan”´memakai warna dan bentuk, maka dalam puisi adalah memakai “kata-kata dan rima (persajakan)”.
Dalam membaca puisi, saya temukan “rasa” yang sama ketika saya melukis. Apalagi beberapa aliran antara melukis dan puisi itu sama—dalam hal ini saya sangat menyenangi alian romantisme­­. Puisi-puisi yang saya baca pun tidak sekadar puisi, tetapi yang membuat saya cukup nyaman dan menghilangkan kegalauan itu, yaitu puisi-puisi yang kental dengan metafora dan berisikan hal-hal romantis.
Saat itu, saya belum mencoba menulis—meskipun sebenarnya saya pernah menulis puisi saat SMA, ketika itu ada sebuah lomba menulis puisi yang diadakan oleh sebuah majalah religi di tempat saya, dan saat itu saya hanya sebagai nominator—, karena bagi saya, membaca sudah memberikan kesegaran tersendiri tanpa harus menukiskannya, tetapi perasaan itu hanya sebentar, karena lama-lama saya pun tertarik menulis puisi dengan sungguh-sungguh.
Kebetulan, semester 1 hingga semester 4 saya tinggal di sebuah Pesantren dekat kampus, PonPes Al Hidayah Karang Suci, Purwokerto. Di sana orang-orang mengetahui bahwa saya seseorang yang menggilai sastra. Setiap ada event sastra, saya selalu mengikuti dan menjadi juara. Kondisi saat itu membuat saya semakin tertarik untuk menulis puisi dengan intens, meskipun puisi saya teramat jelek untuk dikatakan bahwa itu sebuah puisi. Selain sekedar menulis, saya juga mulai berani membacakannya, di panggung, dan di dalam masjid saat ada acara-acara tertentu.
Puisi-puisi saya tidak banyak yang tahu, karena jarang saya publikasikan, saya lebih nyaman ketika membacanya seorang diri, sambil menunggu ustadz datang saat mengaji. Dan menulis puisi pun tidak serta merta di buku, terkadang saya menulisnya di lembaran-lembaran atau di kertas-kertas, selepas itu hilang entah kemana, begitu saja.
Jarak antara pesantren dan kampus yang cukup jauh, saya tempuh dengan bersepeda. Setiap jam kosong atau pulang lebih awal, selalu saya sempatkan membaca buku-buku sastra di gramedia yang jaraknya dengan kampus sekitar 5 Km dengan bersepeda. Kebiasaan itu sudah sangat saya nikmati, hingga tidak pernah merasa lelah mengayuh sepeda sedemikian jauh, terlebh saat cuaca panas.
Setelah sekian lama berproses (baca; mengaji) di PonPes itu, suatu ketika—saat ada pengajian—ada seorang kyai yang mengatakan bahwa ia mempunyai itikad untuk membuat pesantren Mahasiswa kepenulisan, yang akan menampung mahasiswa-mahasiswa yang berminat dalam dunia kepenulisan. Kyai itu adalah DR. Moh Roqib, M. Ag, yang sekarang menjadi pengasuh Pesantren Mahasiswa An Najah, tempat saya mengaji hingga saat ini, karena selepas pertemuan dengannya, saya terus saja berfikir untuk pindah dari pesantren yang lama, meuju pesantren kepenulisan, dengan pertimbangan bakat menulis saya akan diasah dan dikembangkan. Maka, benarlah adanya, di pesantren saya sekarang, saya mulai menginitmi kepenulisan khususnya puisi.

Puisi dan Puasa
Saat memulai kehidupan di pesantren kepenulisan, hidup saya mulai ada yang berbeda, semangat menulis semakin saya rasakan. Selain dari dalam diri saya sendiri, motivasi selalu saya dapatkan dari Pengasuh pesantren yang juga seorang penulis. Di rumahnya (baca; ndalem), buku-buku koleksi selalu beliau tawarkan untuk saya baca, maka kesempatan emas itu selalu saya manfaatkan, karena selain buku-buku pendidikan, di peroustakaan pesantren juga sangat banyak buku-buku sastra.
       Pintu gerbang dalam menapaki kehidupan kepenulisanku adalah perkenalan dengan seorang sastrawan yang sangat saya kagumi puisi-puisinya, dialah Abdul Wachid B.S. pengasuh pesantren memintanya untuk membagi ilmu kepenulisan kepada santri-santri, maka kesempatan itu saya menfaatkan untuk berkenalan dan mencuri ilmu darinya.
       Semakin hari saya semakin akrab dengan ayah—panggilan akrab Abdul Wachid B.S.—yang juga Pembina LPM OBSESI, kebetulan saat itu saya menjadi pengurus LPM. Memanfaatkan kedekatanku dengannya, saya selalu sempatkan untuk menanykan hal ikhwal puisi, kemudian beliau mengenakkan saya dengan seorang penyair muda yang sangat produktif yaitu Arif Hidayat, darinya saya memulai belajar menulis puisi yang baik, hampir setiap dua minggu sekali saya selalu menyetorkan 10 hingga 15 judul puisi, lalu diapresiasi dengan mencorat-coret bagian yang salah, lebih tepatnya bagian yang tidak penting.
       Setiap setoran selalu ada bagian yang dicoret, dan itu cukup banyak. Semakin membuat saya penasaran bagaimana menulis puisi yang baik. Terus saja saya menyetotkan puisi-puisi saya yang telah diketik rapi di kertas HVS agar  Mas Arif lebih mudah membacanya, tetapi tetap saja banyak coretan di puisi-puisi saya. Setiap kali mas Arif mengembalikan kertas puisi saya, selalu saya renungkan di bagian mana kesalahan saya dalam menulis, hingga pada setoran ke tujuh, kertas puisi saya bersih dari coretan mas Arif, yang berarti saya telah berhasil menulis puisi. Memang semuanya membutuhkan proses dan ketekunan, tidak serta merta instan, banyak pelajaran yang kuambil saat mengalami masa-masa pahit setoran puisi, dari menambah bacaan saya, mengolah rasa lebih dalam lagi dalam menulis puisi, serta selektif dalam memilih diksi dan rancang bangun.
Dalam menemukan jati diri, tentu seseorang mencari jalan sendiri sesuai apa yang dikehendakinya. Butuh waktu yang lama dalam menemukan jati diri itu, maka satu hal yang harus dimiliki adalah sikap “istiqomah” atau konsisten dalam melakukan sesuatu. Dalam hal ini konsisten terhadap apa yang dilakukan untuk menemukan jati diri.
Saya, dalam mencari jati diri kepenyairan melakukan sesuatu yang dinamakan “Riyadloh” atau dalam bahasa pesantrennya “Tirakat”. Yah, itu semua menjadi jalan yang saya pilih, riyadloh itu adalah Puasa.
Entah mengapa puasa menjadi pilihan saya, mungkin karena dengan puasa saya lebih mudah menemukan daya berkreasi atau berimkajinasi dalam keadaan lapar. Atau puasa membuat hati menjadi tenang, jadi dalam berfikir dan bersikap akan lebih terkontrol, dan itu menentukan puisi yang saya tulis.
Suminto A. Suyuti dalam bukunya “berkenalan dengan puisi” mengatakan ;
puisi sebagai sosok pribadi penyair atau ekspresi personal berarti puisi merupakan luapan perasaan atau sebagai bentuk produk imajinasi penyair yang beroperasi pada persepsi-persepsinya. Itulah sebabnya tidaklah mengherankan jika puisi disebut juga sebagai bahasa perasaan. Artinya, bahasa dalam puisi sebagai sosok pribadi penyair lebih difungsikan untuk menggambarkan, membentuk, dan mengekspresikan gagasan, perasaan, pandangan dan sikap penyairnya.

Maka, dengan berpuasa, saya merasakan saya yang lebih baik dari sebelumnya, saya menemukan ketenangan bathin, kejernihan pikiran, dan keluasan imaijnasi. Dan kata-kata yang saya keluarkan selalu baru dan bukan kata-kata yang sekedar estetis tetapi juga etis.
Adapun puasa yang saya kerjakan adalah puasa Ndawud, yaitu sehari puasa, sehari tidak. Mengapa demikian? Saya lebih merasakan keadaan tubuh yang nyaman dengan melakukan puasa ndawud ini. Ternyata ada penyair  lain juga yang melakukan tirakat ini, yaitu Ajip Rosidi. Terlihat banyak karya-karyanya yang memang bagus.

Sudah sekitar 3 tahun saya melakukan puasa Ndawud, hingga tulisan ini dibuat. Sebenarnya tujuan awalnya adalah membersihkan diri dari kekotoran bathin dan juga untuk taqorub kepada Tuhan. Namun, lambat laun saya menemukan sesuatu yang sangat berharga. Keistiqomahan saya dalam berpuasa-berpuisi ini saya tulis dalam sebuah puisi berjudul “meditasi katak”, ini adalah puisi pertama saya yang dimuat di media massa, yaitu Minggu Pagi, N0 25 th 64 Minggu III September 2011.
Dalam hujan yang tak berangin,
Seekor katak berdiam dalam pesujudan panjang
Menunggui pelangi yang belum juga
Menampakkan batang hidungnya
Dan saat air menetes di kelopak matanya
Ia masih dalam diam
Bahkan, mengencangkan tasbihnya.

Puisi ini dimuat tepat saat saya tengah mengalami putus asa, lantaran sudah berpuluh kali m,engirim puisi ke media, tetapi tak juga ada yang dimuat. Saat itu saya mangkir dari kebiasaan saya setiap minggu pagi adalah datang ke alun-alun untuk mengecek apakah puisi saya dimuat atau tidak, kali itu, saya memutuskan untuk berdiam di pesantren karena saya tak yakin puisi saya akan dimuat, hingga tiba-tiba, kawan saya wiwit mardiyanto mengirim pesan singkat bahwa puisi saya dimuat hari itu. Betapa bahagianya saya, mendengar kabar puisi saya dimuat untuk kali pertama, lalu saya memutuskan untuk pergi ke loper koran seketika itu, dan mmebeli 3 buah koran. Salah satunya saya bawa pulang ke rumah untuk saya tunjukkan ke pada ibu saya, dan benarlah bahwa ibu saya sangat merasakan kegembiraan melihat nama anaknya dipampang di sebuah koran, ada embun keluar dari tepi matanya. Semenjak itu, setiap karya saya dimuat di media apapun, koran, majalah, buku antologi, saya selalu pastikan untuk menyerahkan 1 eksemplar untuk ibu, alhasil, di rumah, ibu mengkoleksi semua tulisan-tulisanku yang tersebar di media. Saat-saat menyerahkan karya ke ibu adalah saat saat terindah—selain mendapatkan honorarium dari media tentunya.
Berawal dari koran, puisi-puisi saya merembak ke majalah-majalah, lalu masuk buku antologi komunal. Dari mulai puisi Cinta, sosial (dalam buku antologi “Bangga Aku Jadi Rakyat Indonesia” diterbitkan Kosakatakita dan dijual di Gramedia, di dalamnya beberapa nama seperti Dimas Arika Miharja, Acep Zamzam Noor, Izbedi Setiawan YS, untuk menyebut beberapa nama, saya salah satu dari dua penyair termuda di dalamnya), hingga puisi mbeling (buku antologi “Suara-suara yang terpinggirkan”, di dalam buku itu beberapa nama Sastrawan Besar ada di dalamnya sepeti Gus Mus, Remy Silado, Nugroho Suksmanto, Heru Emka, untuk menyebut beberapa nama dan saya menjadi Penyair paling muda),Dari kumpulam-kumpulan puisi itu juga, saya mulai mengenal dan akrab dengan penyair-peyair terkenal seperti Dimas Arika Miharja, Kurniawan Junaedhi, Adri Darmaji Woko, Dharmadi, Gunoto Saparie, Mustofa W. Hasyim, Susi Ayu, Handrawan Nadesul, Syam Chandra Manthiek, Dhenok Kristianti, untuk menyebut beberapa nama saja. Lalu, saya juga diundang untuk membacakan puisi di beberapa event sastra, salah satunya acara Launching buku “Rendezvous” buku kumpulan puisi 10 penyair muda Jawa Tengah tahun 2011, di Teater Arena, Taman Budaya Jawa Tengah, Surakarta. Di sana, untuk pertama kalinya saya membacakan puisi di hadapan orang banyak, dan di panggung yang disusun sedemikain rupa, mirip panggung untuk pentas teater, di sana saya belajar banyak bagaimana para penyair membacakan puisi-puisinya.
Waktu pun bergulir.
Saya, semakin mengakrabi puisi. Semakin produktif pula saya menulis. Terus mengirim ke media, dimuat, dan dibukukan komunal, semakin belajar pula membaca puisi yang baik, karena setelah itu saya semakin sering diundang untuk membacakan puisi. Buku antologi komunal kini lebih dari 13 buku, jumlah yang tidak sedikit, karena proses kepenyairan saya belum genap 2 tahun, saya bersyukur atas pencapaian ini, meskipun saya tidak boleh lantas puas dan sombong, semua itu memberikan pelajaran baru buat diri saya. Lebih lanjut, saya juga pernah diminta menjadi juri baca puisi tingkat Mts se-Kabupaten Banyumas, pengalaman yang cukup menarik buat saya.
Kemudian, waktu memperkenalkan saya pada event sastra besar, tahun 2012 awal, saya menjadi salah satu peserta TSN 1, Temu Sastrawan NUMERA (Nusantara Melayu Raya) ke 1 di Kota Padang, Sumatra, yang dihadiri sastrawan 5 Negara, yaitu Brunei Darussalam, Thailand, Malasysia, Singapura, dan Indonesia. Ini adalah kali pertama saya naik pesawat. Dan saya adalah satu-satunya perwakilan dari Jawa Tengah- Jogja, yang lain berasal dari berbagai pulau di Indonesia. Di sana saya bertemu pelaku sastra dari yang paling muda hingga peling tua, dari berbagai pelosok negeri, juga sebagai kesempatan saya bertemu langsung dengan sastrawan besar sealiber Korrie Layun Rampan, dan LK. Ara. Tak hanya itu, saya juga sempat mengunjungi Rumah Puisi Taufiq Ismail di Bukittinggi, saya bisa bersalaman langsung dengan beliau, betapa bahagianya saya, seperti mimpi, bisa bertemu langsung dengan tokoh yang selama ini hanya saya dengar namanya lewat media atau buku saja. Berfoto dengan beliau adalah kenang-kenangan paling indah yang saya dapatkan, selain mendapatkan teman0-teman baru sesama sastrawan muda. Dari perkenalan-perkenalan itu, maka saya pun makin menggeluti bidang sastra, baik dunia nyata maupun dunia maya. Dalam dunia maya, saya memanfaatkan media situs jejaring sosial Facebook, lebih dari 20 group kepenulisan saya ikuti, dari sanalah saya mengetahui event-event sastra, juga proyek penggarapan buku secara kroyokan (komunal), juga sebagai media saling sialturahmi dan bertukar informasi dengan sesama kawan dengan saling memposting karya di dalamnya. Facebook bagi saya adalah sebuah media apresiasi sastra yang sangat bermanfaat dalam mengembangkan kepenyairan saya.
Lebih lanjut, saat diadakan PEKSIMIDA (Pekan Seni Mahasiswa Daerah) Jawa Tengah tahun 2012 di Surakarta, saya mewakili Kampus STAIN Purwokerto untuk kategori penulisan puisi. Bersama sepuluh teman, saya berangkat ke Surakarta untuk melaksanakan PEKSIMIDA, dengan niatan mencari pengalaman. Namun, Tuhan berkehendak lain, tanpa disangka saya menjadi Juara 1 tangkai lomba penulisan Puisi mengalahkan 48 peserta dari 24 perguruan tinggi se-Jawa Tengah. BPSMI (Badan Pembina Seni Mahasiswa) Jateng, beberapa setelah itu menghubungi saya untuk keperluan administrasi berkenaan dengan pendelegasian untuk PEKSIMINAS (Pekan Seni Mahasiswa Nasional) di Mataram, NTB. Subhanalloh, saya tak pernah membayangkan sampai seperti itu, tapi berkat usaha dan doa, saya diberi kesempatan mewakili JATENG dalam lomba berskala Nasional itu. Meski dalam event itu saya tidak menjadi juara, tetapi saya merasa bersyukur karena diberi kesempatan Tuhan untuk berkumpul dengan penyair unggulan provinsi se-Indonesia. Selain itu, saya berkesematan berjabat tangan dan berfoto bersama dengan Sastrawan-sastrawan terkenal seperti Putu Wijaya, Agus R. Sarjono, Acep Zam-zam Noor, dan Seno Gumira Adji Darma.

Puisi dan cinta
Sebagian besar puisi-puisi saya beraromakan “Cinta” sebagaimana judul buku kumpulan puisi pertama saya “Nadhom Cinta”, buku yang diterbitkan oleh PesMa An Najah Press, yang awalnya hanya sebuah mimpi mempunyai buku—ketika itu saya menuliskan “kumpulan puisi Nadhom Cinta”di sesobek kertas dan saya tempel di meja belajar, agar setiap saya mengambil buku, saya ingat dengat cita-cita saya itu—, namun karena keyakinan saya dan tekad kuat saya, maka buku ini pun terbit, Alhamdulillah. “Cinta” yang saya angkat dalam buku  puisi itu mulai dari Cinta yang didefinisikan sebagi Cinta Eros (birahi), Cinta phelia (kasoih sayang), Cinta Agope (cinta sejati), Cinta starge (persahabatan), dan Cinta Hudus (gombal semata) sebagaimana yang didefiisikan oleh Master Johnson (1985) dan Kolodny (1985).
Puisi-puisi itu sebagian besar berangkat dari pengalaman pribadi hingga hasil membaca oranglain. Buku-buku tentang Cinta pun banyak saya baca untuk memudahkan saya mendefiisak cinta dalam bentuk persajakan, juga puisi-puisi yang bertemakan Cinta.
Bagi saya, Puisi adalah sahabat yang paling setia, ia menemaniku di setiap fragmen hidup, dari setiap duka, lara, bahagia, tawa, dan airmata. Setiap ke mana pun saya pergi, selalu saya bawa kertas beserta pulpen—jika lupa maka cukup dengan hape—untuk menuliskan puisi jika tanpa disangka menemukan moment puitik yaitu suatu kedaan di mana kita tertarik atau timbul keinginan untuk menuliskannya dalam bentuk puitik untuk menyimpan sebuah momen atau peristiwa tertentu.
Puisi-puisi saya tidaklah jauh dari pesan-pesan cinta baik kepada Tuhan,manusia, binatang maupun semesta. Itulah yang bisa terbaca dari puisi-puisi saya yang kental dengan metafora-metafora segar seputar alam, semisal: embun, rembulan, pelangi, udara, angin, sawah-sawah, mawar, hujan dan juga suasana seperti senja. Apakah harus diksi-diksi itu untuk memuat puisi? Tentu tidak, puisi adalah proyeksi kepribadian dan perasaan penyairnya, maka apa yang ada dalam puisi itu mewakili atau sebagai miniatur penyairnya. Dalam ini, saya memilih diksi-diksi seputar hal-hal yang romantis karena apa yang ingin kusampaikan juga sesuatu yang membutuhkan keromantikan, yang bisa dinamakan bernafas cinta.
Nadhom Cinta, yang merupakan antologi tunggal saya, mengambil tema besar cinta, hampir kesemuanya adalah puisi-puisi cinta, buku itu merupakan usaha saya mengumpulkan puisi-puisi yang sudah tersebar (baca; dimuat) di berbagai media seperti koran, majalah, buletin, maupun jurnal, baik cetak maupun cyber.
Apakah harus cinta? Dengan tegas saya jawab tidak. Puisi itu membahasakan perasaan maupun pengetahuan seorang penyair, jadi menulis puisilah sesuai apa yang ada di hati, tanpa ada paksaan dan tanpa ada obsesi mencapai sesuatu hal yang sebenarnya tak perlu, yaitu “ingin menjadi”. Menulis puisi dengan meniru gaya orang lain tidaklah bagus, tetapi menulis puisi yang sesuai dengan ke-diri-an penyair itu sendiri. Akan terasa percuma jika menulis puisi bagus namun hasil plagiat atau meniru-meniru.
Hampir semua puisiku bernafaskan cinta, baik yang dimuat di koran, majalah, cyber, maupun buku-buku kumpulan puisi. Dan saya sangat menyukai hal-hal yang romantis, juga suasana suasana romantis seperti gerimis dan senja. Untuk itu, nama pena saya adalah Dimas Indiana Senja. Meskipun awalnya saya kurang pede dengan nama “senja” tetapi lambat laun orang-orang mengenalku dengan sebutan itu. Tetapi, dalam karya yang saya publikasikan, saya tetap memakai nama asli Dimas Indianto S. Dengan alasan, pertama nama itu pemberian dari orang tua, jadi lebih mudah untuk mencari ridho orang tua, dan kedua nama itu sudah nyastra kata banyak orang, saya pun tidak terlalu memikirkannya, yang penting adalah bagaimana saya produktif menulis.
Sekarang, saya tak hanya menulis puisi, tetapi belajar juga menulis cerpen dan esay, hasilnya, tak jauh dari tema “Cinta”. Untuk cerpen saya pertama kali adalah dimuat di majalah MAYARA yang diredakturi oleh Abdul Wachid B.S. saat itu saya menulis cerpen berjudul “Gerimis di penghujung senja”, tentang dua insan yang dilanda cinta, namun prahara berkecamuk dalam diri keduanya membuat harapan menyatu menjadi berkurang meskipn pada akhirnya bisa bersama. Dan cerpen kedua saya adalah “Rinai Hujan Baturraden” menceritakan sepasang kekasih yang berpisah karena salah satu di antara mereka mempercayai sebuah mitos, dibukukan dalam “Nyanyian Kesetiaan” diterbitkan Obsesi Press merupakan buku hasil lomba cipta cerpen Nasional yang diadakan DEMA berkerjasama dengan LPM Obsesi tahun 2012. Sedangkan Esaiy, saya baru mendokumentasikan satu-satunya esay yang pernah saya buat, yaitu bertemakan tentang guru berjudul “Pak Guru melukis, Saya Menulis”, dibukukan bersama 36 penulis, diterbitkan oleh UKM KIAS IKIP PGRI Semarang. Di esaiy itu saya ceritakan perjalanan kepenyairan saya yang bermula dari kecintaan terhadap lukisan, juga ungkapan terima kasih saya kepada sosok guru yang mengajariku tentang etika dan estetika; Pak Agep.
Dari tulisan-tulisan itulah saya meringankan beban orang tua, saya mulai bisa membeli perlengkapan hidup, dari mulai pulsa, bensin, makanan, pakaian dan perlengkapan lain dengan uang sendiri, dan itulah saat paling membahagiakan. Caranya adalah, setiap karya yang diterbitkan media, saya selalu menyerahkannya kepada Pembantu Ketua III STAIN Purwokerto, dan saya selalu mendapatkan imbalan dari sana. Selain sebagai penulis sastra, saya juga seorang jurnalis yang terlahir dari LPM OBSESI. Sekarang saya menjabat Pimpina nRedaktur Buletin “BENER” FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) Banyumas, dari sana saya mendapat tambahan penghasilan dari menulis. Selain itu, kesibukan yang lain adalah tugas saya menjadi “Lurah” di Pesantren Mahasiswa Kepenulisan AN Najah, Pesantren yang membesarkan nama saya menjadi seperti sekarang ini, di sela-sela kesibukan itulah saya menulis, dan mengisi beeberapa kegiatan di luar seperti mengisi workshop dan bedah buku, semuanya saya lakukan untuk mencari pengalman dan pengetahuan baru.
Dan kini, nama saya tidak hanya dikenal oleh pengamat sastra di Banyumas saja—sekalipun saya dikenal sebagai Penyair Purwokerto—, tetapi berrbagai pengamat sastra dari daerah lain, dan kini saya juga sudah menjadi bagian dari dua Dewan Kesenian Kota, yaitu Dewan Kesenian kota Brebes, yang diketuai oleh Lukman, dan ia menuliskan endorsmen di buku Nadhom Cinta dan Dewan Kesenian Kota Tegal, diketuai oleh Nurhidayat Poso, sastrawan yang saya kenal lantaran bertemu pada acara malam sastra di kediaman Alm. Piek Ardiyanto Soeprijadi.

Kamis, 13 September 2012

Episode Air Mata IV


Izinkan Aku Menangisi Airmatamu

/1/
Zah, Aku ingat pertemuan kali pertama kita, di sini.  Sepetak ruang yang teramat sesak udaranya. Bangku-bangku bungkam, atap diam, daun pintu sesekali berderik, karena angin pagi menyentuhnya perlahan. Angin itu jugalah yang terkadang menyibak rambut panjangmu, dan kau bergegas membenarkannya lagi. Aih, aku tak pernah melupakan itu.
/2/
Kali ini, kau datang dengan nuansa yang berbeda. Ada embun yang menggelayut di matamu, sepertinya terlampau banyak kata-kata yang ingin kau utarakan,  ruangan sepi, hanya ada aku, kau dan sepotong rindu. Langit mendung, meski matahari masih terbit di balik senyummu, tapi aku sama sekali tak menerima pancaran yang sedikit melegakan nafasku.
/3/
Tiba-tiba, matamu berkaca-kaca, aku ingin menyekanya, tetapi saputangan terlebih dahulu menjangkau wajahmu, aku diam, bangku-bangku masih juga terbungkam, lantai teramat dingin, sementara di balik jendela sepasang burung pipit berkejaran di atas pohonan, daun-daun berguguran seketika itu, memenuhi ingatan kita tentang masalalu, yang sering kita coba menyapunya dengan airmata, agar kenangan tak lagi berserakan dan menjadi duka.
/4/
Dalam sunyi yang debar, aku bisa menghitung jumlah denyut jantung kita yang bersaut, sesekali detak jarum jam dan dercak cicak menyela di antara mata kita yang saling bertatap, sementara mulut kita masih saja diam, hanya airmata yang bicara lewat tepian mata sayumu itu, dan menghujani pipimu, menjadi anak sungai kecil, dan aku menjadi bagian dari batu-batu yang dibungkam lumut waktu, merasakan betapa banyak nestapa yang ingin kau alirkan dari matamu itu.
/5/
Tanpa kusadari, airmata kita sama banyak, ruangan masih saja sepi, aku berteriak dalam diam, dan kau bercerita dengan isak. Lalu kau mendekapkan tubuhmu ke dadaku, kucoba mengusap rambutmu pelan, detak jantung kita menyatu, dan kutitipkan cintaku di keningmu.

; Izinkan aku menangisi airmatamu, Zah.

Pondok Pena, 2012.

Episode airmata III


Dalam dekap angin pantai


Yah. Dalam dekap angin pantai pagi itu. Saat matahari tiba-tiba muncul dari balik bukit di dadamu. Tempat bersemayam penantian dan kesetiaan. Tiba-tiba ombak menggulung, aku mendengar suara gedebur yang amat gemuruh dari hatimu. Sesekali kau memeluk kepalaku dan menyandarkannya tepat di dadamu, yang selalu mendetakan degub jantung kita. Dan kau sesekali memberikan ciuman singkat di pelipis waktu.

Andai saja. Almanak masih berpihak pada kita, barangkali detik-detik yang kita lalui itu tak menjadi peremuan kali terakhir. Seperti pintamu, bahwa kau akan mengajakku terbang bersama camar yang sedari tadi berlenggak-lenggok di pelataran langit hati kita.

Kemesraan ini janganlah cepat berlalu, katamu. Iyah. Aku pun demikian sayang. Kekasih mana yang rela rindunya patah, menjadi butiran-butiran pasir yang memenuhi ingatan kita, tentang pertemuan kita di bus kota. Tentang hujan yang membasuh-basahkan hati kita. Tentang bunga mawar yang kuberi saat gerimis mengantar senja, dan rambut panjangmu basah karenanya, lalu kau mengajakku minum secangkir teh hangat di beranda waktu. Aih, tapi semua kini hanyalah kenangan masa silam. Yang terpendam entah di mana. Barangkali di pantai ini? Ah, aku tak tahu sayang.

Dalam dekap angin pantai, kita bercumbu di sebuah gubuk kecil yang kita susun dari kata-kata, dan kau menamainya puisi. Tapi ini lebih seperti pemberontakan kata-kata terhadap waktu yang ia jaga. Tapi kau selalu saja mengelak dari itu. Aku menjadi tak mengerti atas teka-teki ini, mengapa cinta kita harus begitu rahasia, hingga semesta tak boleh mengetahui? Tanyamu. Ah, aku tak mampu menjawabnya, biarlah gedebur ombak yang akan membawamu pada kepastian. Tentang airmata yang tak kunjung padam.

Pembaringan kata-kata, 2012.

Episode Airmata II


Aku ingin menangis di pelukanmu.
                ; Violet

Aku ingin menangis di pelukanmu, katamu padaku.
Di sebuah ruangan  yang sangat dingin dan sepi. Karena hanya ada aku, kau dan airmata.
Kita bercerita tentang hujan yang tak juga melahirkan pelangi padahal matahari masih
Terbit dari balik bukit di dadamu.
Matahari itulah yang mambuatku selalu hangat setiap kali di sampingmu.
Mendekapmu, dan sesekali kau memberikan ciuman singkat di pelipis waktu.

Vi, kau kenapa? Tanyaku padamu
Sembari menyapu gerimis yang membasahi pipimu
Membentuk anak sungai kecil, dan matamu berbinar.
Kerudung ungumu berkibar karena angin mencoba menghibur hatimu yang galau,
Akh tidak, tapi hati kita, karena kau dan aku masih merasakan sisa kesakitan yang dulu,
Yah, dulu sekali, saat almanak masih mendetakkan cinta kita, dan kita diminta menunggu detik-detik
yang mendenyutkan rindu kita, di sebuah ruang tunggu, di sebuah penggalan episode paling
 dramatis. Paling puisi.

Seandainya waktu tak merenggut kisah cinta kita.  Katamu memenggal sepi,
Akh, aku tak mampu menjawabnya. Kata-kata yang telah kususun
Seketika itu berjatuhan dari bibirku,
Lalu kau tegarkan aku dan kau punguti kata-kata itu,
Dan kau buatkan puisi darinya
Dan kau bacakannya di hadapku
Dan aku menangis
Dan kau pun menangis
Dan kita berpura tegar
Dan kita berpelukan.

Hujan turun dengan sempurna. Ruangan masih sepi,
Hanya ada aku, kau dan airmata,
Akh, tidak masih ada satu yang belum kau sebutkan. Katamu lirih
Apa? Tanyaku sambil mengusap kerudungmu yang basah karena hujan
Dan pipimu yang basah karena airmata.
Puisi. Yah puisi yang dulu memepertemukan kita
Di tikungan waktu. Saat hari-hari hanya milik kita, dan kita basah-basahan dalam hujan.
Puisi itu kini datang dan menancap di hati ini.
Maukah kau mencabutnya dan  membacakannya untukku? Untuk kali terakhir,
Sebelum kita benar-benar berpisah selamanya. Sebelum waktu menuruti keegoisannya.

Lalu, airmata menyeret tubuhmu dari dekapanku.
Kau menjauhiku, padahal puisi belum usai kubacakan.
Dan kau berlari sekencang-kencangnya,
Dan aku tahu kau masih menangis,
Dan aku berteriak di dalam diam
Dan aku memanggil-manggil namamu dengan airmarta Yang segerra luruh bersama hujan,
membasahiku, dan menenggaelamkanku dalam sunyi yang paling.

Vi, aku ingin menangis di pelukanmu. Sungguh.

Senja, 2012

episode airmata I


Kisah kita tinggallah nama.

Setelah lama kukubur dalam-dalam rasa sakit yang paling rintih ini, kau mengabariku berita tentang kematian sejarah, dari masalalu yang kau pesan dari waktu.

Lalu kau mengajakku menziarahi perasaan kita yang lapuk dimakan keegoisan masa silam, tentang aku yang diam, tentang kau yang banyak dendam.

Hujan semoga turun hari ini, agar basah semua sesal di dada. Agar tergenang semua rindu yang mustahil itu. Kau tak usah membuat cerita seputar musim semi, karena pohon cinta yang dulu kita tanam telah membatu. Tak mungkin terbit lagi matahari yang dulu kau mengajariku cara menikmati hangatnya, dari daun-daun, dari akar-akar, dan dari apa yang kita namai pertemuan, seperti musim gugur yang luruhkan semua puisi-puisi, dan berserakan menjadi sampah di pelataran pusara waktu.

pondok pena, 2012.

Dua Puisiku yang dimuat di Satelit Post, minggu 22 April 2012


Aku mencintaimu  tanpa berharap semesta tahu

Aku mencintaimu  tanpa berharap semesta tahu,
Biarlah angin pagi yang kan menerbangkan butiran-butiran rindu
Lalu, membuat kisah kita makin mekar dan mewangi.
Serupa bebungaan di pelataran hati kita,Setiap pagi
Embunnya menggutasi, membasahi kaki-kaki kita yang telanjang
Menekuri setiap jalan-jalan becek. Hujan sesekali menepi di ujung rambut panjangmu,
Kau memintaku mengikatnya, dan  matahari cemburu. Berhenti memberi energi kepada
Daun-daun yang kehausan, tersebab sedari malam hingga fajar datang mimpinya tak juga
Mampu diterjemahi. Lalu aku mengajakmu membuka kamus-kamus yang telah lama tidak kita buka, yang
Mengusang bersama cerita-cerita lama. Tentang sawah-sawah di belakang rumah kita.
Tentang rerumputan. Tentang padang ilalang. Tentang rembulan. Dan tentang malam yang kabut.
Kau sesekali menanyakan cinta ini, harus dengan apa aku menjelaskannya, kekasih.
Bila pelangi yang kutebar di langit senja, mampu kau tangkap dan menjadi sebuah puisi,
Dan setiap malam, kau meronta, memintaku membacakannya untukmu. Sebagai pengantar tidur ! Katamu.
Sayang, semesta mau berbuat apa? Tentang aku, tentang kau, tentang waktu
 yang kita lalui bersama?
Bermain layang-layang, basah-basahan dalam hujan, bertukar bebunga di taman.
Barangkali lewat catatan ini, kau tak lagi memintaku berteriak sepanjang jalan menuju rumahmu,
yang begitu menanjak dan berliku. Begitu sunyi dan rahasia. Aku tahu sayang,
 kekasih mana yang merelakan
rindunya patah? Merpati selalu kuterbangkan setiap pagi, dengannyalah aku titipkan
sketsa kerinduan yang amat menyiksa. Harap-harap cemas hati ini menunggu jawaban dari
wajahmu.
Maka, aku hanya akan mengatakan
; aku mencintaimu tanpa berharap semesta tahu.
                                    Pondok pena, 2012.
Mengeja gerimis

Gerimis mencubit-cubit mukaku
Sore itu, di sebuah halte
Dimana engkau memastikan kehadiran terang.
Yang nyatanya bayangannya saja enggan menghinggap
Di kepalaku.
Barangkali aku terlalu bodoh untuk ini,
 daun kehilangan
Sayap. Hanya angin yang melintas dihadapanku
Membawa sabda.
Dan aku tak mampu membaca kharakatnya.

Senja,16 maret 2011

Puisi tentang Cinta dalam Tajwid


Dalam Tajwid Cinta

Yah, Aku mafhum betapa Idhar rindumu menjerit
Seperti yang kau pesankan lewat semilir angin
Selepas hujan menelanjangi tubuhnya
Menjadi serupa embun,
Lalu bayanganmu menjelma ikhfa,
Menyamar ingatan paling dalam
Dan suaramu yang idghom, mendengungkan
Penantian yang terus saja berdentuman.

Hatiku gigil mengeja kharakat cinta
Yang tergaris dalam wajah semesta
Dan kau, selalu saja bertanya
“apakah cintamu padaku sebatas saktah ?”
Kekasih, telah kunadhomkan keresahan hati ini
Kepada alamat hatimu
; bahwa debar jantungku
Terwaqofkan di dadamu.

                Pondok Pena, 2012.

puisi yang masuk di buku "Berbagi Kasih"


kisah yang paling puisi

1/
Dalam gerimis yang rintikannya serupa melati,
Aku termenung dalam bisu di tepian kelopaknya.
Dengan tubuh gigil menggenggam apa yang
Kaunamai kesetiaan.
2/
kau hadir dengan segurat senyum yang kurindu
Menawarkan cinta yang tak pernah kutahu muasalnya,
Seperti angin yang mendaki leherku, berhembus sejenak,
Dan menjadi sedia kala.
3/
Akh, melati ini makin lusuh saja. Katamu.
Warnanya aroma anyir !
Maka, kubawakan segelas kata-kata
Untukmu, kekasih.
4/
Lalu kau mengajakku menyatu menjadi serupa pelangi
Bercinta habis-habisan sambil menyenandungkan lagu rindu
; menyulam kisah yang paling puisi.

Pondok Pena, 2012.

Puisiku yang masuk antologi dua bahasa "Poetry Poetry" (120 penyair Indonesia) dan dijual di Amazon.com


Perempuan yang menamai dirinya hujan.
1/
Seorang perempuan menunggu senja,
Di sela jemari lentiknya ia gantungkan harapan
Dalam lengannya yang rapuh, karena terlalu lelah
Memunguti  hujan yang deras menikam batinnya
Hingga matanya lebam
Dan wajahnya mendung, awan gelap merenggut paras ayunya
Wewangian di tubuhnya beterbangan terbawa angin yang muasalnya
Tak berarah. Menanggalkan kesetiaan yang ia dekap dalam gigil tubuhnya.

2/
Perempuan itu berteriak di tepi pantai,
Hatinya bergemuruh, dan lebih riuh dari ombak
Dan melahirkan buih-buih putih, memenuhi hatinya yang resah
Karena gedeburnya tak berkesudah

3/
Ia mengulang-ulang teriakan yang sama
Hingga camar yang melintas-lintas di kepalanya
Menyudahi percumbuannya dengan kelam
Langit masih bisu, seperti sedia kala
Hatinya makin resah, lalu ia mengambil segenggam pasir
Di telapak kakinya, lalu ia tebar ke awan
Dan jadilah hujan.


4/
Dari hujan itu, ia lumuri dadanya dengan airmata
Tempat ia memendam kerinduan sedemikian ceruk, dan ia bercerita
Kepada laut yang dulu mempertemukannya dengan senja
Sebelum almanak benar-benar menutup hari dengan nestapa
Lalu ia pohonkan mawar di hatinya,
Dan ia rapalkan mantra kepada langit, kepada ilalang, juga
Kepada segurat warna jingga di matanya,

5/
Seorang perempuan menamai dirinya hujan,
saat airmatanya mulai kering
dan membentuk siluet Senja.

                                Pondok Pena, Juni 2012.

Puisiku yang menjadi Juara 1 lomba penulisan puisi Ramadhan, dan dibukukan dalam "Ayat-ayat Ramadhan" AG Publishing, 2012


Fragmen Cinta di Bulan Ramadhan

Fragmen 1/
Tarawih

Yah, kita mulai percintaan ini dengan basmalah
kita gurat di langit malam penuh bintang
Saat semesta mendenyutkan ayat-ayat kerinduan
Tentang kehadiran padang rembulan,
Kau dan aku saling doa dalam rokaat yang sama
Yang masih juga menengadahkan tangan
Agar sinar rembulan mampu kita tangkap
Dalam sujud yang dekap,
Walau kaki kita telanjang dan menekuri jalan teramat panjang,
Tapi yakinlah ; kita akan menemu jalan pulang
Setelah senandung Kalam Tuhan menenangkan hati kita.

Fragmen 2/
Tahajjud

Kita adalah kunang-kunang di gelap malam
Menerangi rumah-rumah doa dengan
 Segenggam cinta,
Kita berbisik pada semesta, agar saat rembulan
Terjaga dari tidurnya, kita telah siap menggelar sajadah
Menyatu dengan dzikir jangkrik-jangkrik di sekitar
Pembaringan doa.
Lalu, kita menyatukan denyut pepohonan
Yang dahannya basah, tersebab nama Kekasih
Selalu di ulang-ulang dalam rindu yang gigil.

Fragmen 3/
Sahur

 Malam telah sempurna, bahkan akan meninggalkan kita
Sisa sinar rembulan masih tergelar di atap rumah kita,
Kau menyebutnya embun,
Orang-orang kini telah bersiap memulai hari dengan selaksa doa
Agar perjalanan tak ada aral menghadang.
Yah, kita juga seorang pejalan, maka bersiaplah dengan bekal
Yang cukup ! katamu.
Adakah bekal yang lebih sejuk dari embun? Tanyaku.
Tapi kau tak juga menjawabnya, kau hanya melipat sajadah
Sisa tahajjud kita,
Lalu kau meletakkan itu di pundakku, sambil berkata:
“dengan nama Kekasih, tak ada perjalanan yang lebih indah
Selain diawali meneguk semangkuk doa, yang paling doa, yang paling puisi.”
Lalu, kita menikmati embun yang bersisa di daun-daun yang berjatuhan
Di depan rumah kita itu,
Sambil melepas sisa rembulan yang sebentar lagi pupus sempurna.




Fragmen 4/
Buka Puasa

Kini, langkah kita hampir sampai di tempat matahari terbenam,
Saat selendang senja lebih dekat dari waktu yang kita janjikan,
Kita sama-sama menelanjangi  mega yang tergurat di pelataran langit hati kita
Sesekali camar yang berputar-putar di perut kita
Mencericit dan hinggap di sebuah pohon yang tak jauh dari tempat kita terduduk.
Orang-orang berpulang dari perjalanan mereka,
Tapi kita tak berani menanyai mereka,
Karena raut mereka telah mampu mengabarkan
Hasrat  rindu untuk  berpulang.
Tetapi, sekian lama terdiam, kita menjadi bagian dari mereka,
Kita menggendong peluh sehari ini,
Keringat dan airmata sama ngalirnya,
Tapi sesungging senyum kita temui, seusai kumandang adzan
Mencerua di penghujung senja.
Lalu kita meneguk air wudhu bersama, yang paling madu, yang paling
Rindu.

Fragmen 5/
Tadarrus

Mengeja malam, adalah menunggu datang rembulan,
Melepas mega yang telah berkabar kepulangan senja,
Lalu kita kembali menekuri jalan yang sama
Saat kunang-kunang memulai percintaannya dengan kelam,
Dan kita pun turut membaca semesta,
Menelanjangi kharakat-kharakat cinta
Sepanjang doa yang kita tengadahkan dalam sembahyang.
Butir demi butir ayat yang kita telan, habis sudah
Kegersangan di dada, berkesudah kelaparan yang selama ini
Meresahkan hati kita. Juga menyegarkan tubuh
yang bersiap untuk bersimpuh.

Pondok Pena, 2012.