“ISTIQOMAH
DAHULU, KAROMAH KEMUDIAN”
Puisi dan Saya
Sebenarnya saya
merasa belum pantas jika saya menuliskan “proses kepenyairan”, karena saya
belum merasa menjadi “penyair”. Tetapi tulisan ini ada karena permintaan guru
saya Abdul Wachid B.S. untuk menceritakan sedikit perjalanan yang sudah saya
lalui bersama puisi.
Perkenalan saya
dengan puisi belumlah lama, baru sekitar tahun 2010 atau semester 6 akhir, saya
barulah berani menulis, dan itupun masih teramat jelek. Awalnya saya mengenal
Abdul Wachid B.S. yang sampai hari ini saya memanggilnya “Ayah”. Berawal dari
perkenalan itulah saya mulai membaca karya-karyanya, yang paling saya ingat
adalah puisi-puisi beliau dalam buku “Izinkan Aku Mencintaimu”. Dan sebuah
judul puisi yang paling aku hafal ketika itu adalah puisi berjudul “Pertemuan”;
Jika Sepasang
kupu-kupu saling
berkejaran di antara bunga-bunga,
bertanya lagikah
kita
apa itu cinta
Setelah itu,
saya mulai mengakrabi puisi-puisi beliau, dan membuat saya sungguh sangat
tertarik menulis puisi.
Sebenarnya,
sebelum saya mengenal puisi, pada mulanya saya sangat menyukai dunia melukis.
Awalnya, saat masih SMA saya mencoba belajar mendalami dunia melukis meskipun
sebenarnya “bakat” melukis sudah saya rasakan semenjak SMP—saat akhir tahun ada
tugas membuat mozaik, dan saat itu aku membuat mozaik lukisan pantai di senja
hari, tiba-tiba guru kesenian SMP memanggilku ke kantor, ternyata dia meminta
agar karyaku itu ditinggal sebagai kenang-kenangan untuk sekolah, dengan alasan
karyaku itulah terbaik di antara teman-teman seangkatan, sementara karya yang
lain dikembalikan kepada pemiliknya—, tetapi rasa percaya diri baru saya
temukan saat SMA.
Adalah Pak Agep—nama
aslinya Haris Zulfikar—seorang guru
kesenian SMA yang banyak memberikan sumbangsih terhadap kehidupan
berkesenian saya. Ia adalah guru yang sangat luas pengetahuannya mengenai
kesenian. Selain sebagai gguru kesenian, ia juga merupakan pelukis dan ketua kelompok
Vespa di Daerah saya. Begitu banyak karya yang sudah ia hasilkan, dengan
mengikuti banyak pagelaran seni dan pameran-pameran.
Memulai dengan
melukis hal-hal yang kecil, rasa ketertarikan saya kepada kesenian semakin
menjadi, beberapa kali saya menyetorkan karya untuk dikomentari dan
diapresiasi. Semakin hari ketertarika itu mencandu, “melukis” bukan sekedar
pekerjaan atau tugas mata pelajaran kesenian semata melainkan menjadi suatu hal
yang menghobi bagi diri saya, hampir setiap jam kosong selalu saya manfaatkan
untuk membuat lukisan meski hanya sebuah sketsa.
Beberapa bulan
berikutnya—tepatnya saat lulusan dari SMA—saya merasakan kehilangan terhadap
dunia yang sangat nyaman kusinggahi; melukis!. Sekarang—selepas berpisah dari
SMA, lebih tepatnya Pak Agep—, saya tak lagi melukis, entah karena apa,
mungkina karena tak ada lagi yang bisa diajak ngobrol tentang seni
lukis.
Waktu pun
bergulir.
Purwokerto,
adalah kota yang teramat asing bagi saya, terlebih saya tidak mempunyai saudara
di kota itu. Hari-hari kulewati seperti oranglain, baca buku, kuliah, tidur dan
rutinitas biasa tanpa berbau “berkarya”. Maka, muncullah kegelisahan dalam jiwa
saya, ada semacam kegalauan yang kurasakan teramat sesak di dada, dan kebosanan
yang sangat menyebalkan; karena hari-hari kulewati biasa-biasa saja, tanpa
sesuatu yang berarti.
Suatu saat—kalau
tidak salah waktu ada acara Perpisahan di SMA, dan saya diundang—Saya bertemu
dengan Pak Agep, menyampaikan kegelisahanku, saya menyampaikan bahwa selepas
berpisah dengannya tak ada karya yang pernah saya buat. Maka, satu hal yang ia
katakan adalah bahwa saya harus menjadi pioneer di mana pun saya berada, dan kapan pun. Setiap
hari hampir selalu saya hayati kata-kata itu, dan saya ingat selalu.
Kegalauan sudah
semakin akut, melihat hari-hari terlewati tanpa ada suasana bernuansa “seni”.
Maka, saya pun memilih membaca buku
sastra, dan yang kupilih adalah puisi. Mengapa? Karena puisi tidak jauh berbeda
dengan lukisan. Antara puisi dan lukisan adalah sama-sama menyampaikan “rasa”
dengan simbol. Jika di dalam “lukisan”´memakai warna dan bentuk, maka dalam
puisi adalah memakai “kata-kata dan rima (persajakan)”.
Dalam membaca
puisi, saya temukan “rasa” yang sama ketika saya melukis. Apalagi beberapa
aliran antara melukis dan puisi itu sama—dalam hal ini saya sangat menyenangi
alian romantisme. Puisi-puisi yang saya baca pun tidak sekadar puisi,
tetapi yang membuat saya cukup nyaman dan menghilangkan kegalauan itu, yaitu
puisi-puisi yang kental dengan metafora dan berisikan hal-hal romantis.
Saat itu, saya
belum mencoba menulis—meskipun sebenarnya saya pernah menulis puisi saat SMA,
ketika itu ada sebuah lomba menulis puisi yang diadakan oleh sebuah majalah
religi di tempat saya, dan saat itu saya hanya sebagai nominator—, karena bagi
saya, membaca sudah memberikan kesegaran tersendiri tanpa harus menukiskannya,
tetapi perasaan itu hanya sebentar, karena lama-lama saya pun tertarik menulis
puisi dengan sungguh-sungguh.
Kebetulan,
semester 1 hingga semester 4 saya tinggal di sebuah Pesantren dekat kampus,
PonPes Al Hidayah Karang Suci, Purwokerto. Di sana orang-orang mengetahui bahwa
saya seseorang yang menggilai sastra. Setiap ada event sastra, saya selalu
mengikuti dan menjadi juara. Kondisi saat itu membuat saya semakin tertarik
untuk menulis puisi dengan intens, meskipun puisi saya teramat jelek untuk
dikatakan bahwa itu sebuah puisi. Selain sekedar menulis, saya juga mulai
berani membacakannya, di panggung, dan di dalam masjid saat ada acara-acara
tertentu.
Puisi-puisi saya
tidak banyak yang tahu, karena jarang saya publikasikan, saya lebih nyaman
ketika membacanya seorang diri, sambil menunggu ustadz datang saat mengaji. Dan
menulis puisi pun tidak serta merta di buku, terkadang saya menulisnya di
lembaran-lembaran atau di kertas-kertas, selepas itu hilang entah kemana,
begitu saja.
Jarak antara
pesantren dan kampus yang cukup jauh, saya tempuh dengan bersepeda. Setiap jam
kosong atau pulang lebih awal, selalu saya sempatkan membaca buku-buku sastra
di gramedia yang jaraknya dengan kampus sekitar 5 Km dengan bersepeda.
Kebiasaan itu sudah sangat saya nikmati, hingga tidak pernah merasa lelah
mengayuh sepeda sedemikian jauh, terlebh saat cuaca panas.
Setelah sekian
lama berproses (baca; mengaji) di PonPes itu, suatu ketika—saat ada
pengajian—ada seorang kyai yang mengatakan bahwa ia mempunyai itikad untuk
membuat pesantren Mahasiswa kepenulisan, yang akan menampung
mahasiswa-mahasiswa yang berminat dalam dunia kepenulisan. Kyai itu adalah DR.
Moh Roqib, M. Ag, yang sekarang menjadi pengasuh Pesantren Mahasiswa An Najah,
tempat saya mengaji hingga saat ini, karena selepas pertemuan dengannya, saya
terus saja berfikir untuk pindah dari pesantren yang lama, meuju pesantren
kepenulisan, dengan pertimbangan bakat menulis saya akan diasah dan
dikembangkan. Maka, benarlah adanya, di pesantren saya sekarang, saya mulai
menginitmi kepenulisan khususnya puisi.
Puisi dan Puasa
Saat memulai
kehidupan di pesantren kepenulisan, hidup saya mulai ada yang berbeda, semangat
menulis semakin saya rasakan. Selain dari dalam diri saya sendiri, motivasi
selalu saya dapatkan dari Pengasuh pesantren yang juga seorang penulis. Di
rumahnya (baca; ndalem), buku-buku koleksi selalu beliau tawarkan untuk
saya baca, maka kesempatan emas itu selalu saya manfaatkan, karena selain
buku-buku pendidikan, di peroustakaan pesantren juga sangat banyak buku-buku
sastra.
Pintu gerbang dalam menapaki kehidupan
kepenulisanku adalah perkenalan dengan seorang sastrawan yang sangat saya
kagumi puisi-puisinya, dialah Abdul Wachid B.S. pengasuh pesantren memintanya
untuk membagi ilmu kepenulisan kepada santri-santri, maka kesempatan itu saya
menfaatkan untuk berkenalan dan mencuri ilmu darinya.
Semakin hari saya semakin akrab dengan
ayah—panggilan akrab Abdul Wachid B.S.—yang juga Pembina LPM OBSESI, kebetulan
saat itu saya menjadi pengurus LPM. Memanfaatkan kedekatanku dengannya, saya selalu
sempatkan untuk menanykan hal ikhwal puisi, kemudian beliau mengenakkan saya
dengan seorang penyair muda yang sangat produktif yaitu Arif Hidayat, darinya
saya memulai belajar menulis puisi yang baik, hampir setiap dua minggu sekali
saya selalu menyetorkan 10 hingga 15 judul puisi, lalu diapresiasi dengan
mencorat-coret bagian yang salah, lebih tepatnya bagian yang tidak penting.
Setiap setoran selalu ada bagian yang
dicoret, dan itu cukup banyak. Semakin membuat saya penasaran bagaimana menulis
puisi yang baik. Terus saja saya menyetotkan puisi-puisi saya yang telah
diketik rapi di kertas HVS agar Mas Arif
lebih mudah membacanya, tetapi tetap saja banyak coretan di puisi-puisi saya.
Setiap kali mas Arif mengembalikan kertas puisi saya, selalu saya renungkan di
bagian mana kesalahan saya dalam menulis, hingga pada setoran ke tujuh, kertas
puisi saya bersih dari coretan mas Arif, yang berarti saya telah berhasil
menulis puisi. Memang semuanya membutuhkan proses dan ketekunan, tidak serta
merta instan, banyak pelajaran yang kuambil saat mengalami masa-masa pahit
setoran puisi, dari menambah bacaan saya, mengolah rasa lebih dalam lagi dalam
menulis puisi, serta selektif dalam memilih diksi dan rancang bangun.
Dalam menemukan
jati diri, tentu seseorang mencari jalan sendiri sesuai apa yang
dikehendakinya. Butuh waktu yang lama dalam menemukan jati diri itu, maka satu
hal yang harus dimiliki adalah sikap “istiqomah” atau konsisten dalam melakukan
sesuatu. Dalam hal ini konsisten terhadap apa yang dilakukan untuk menemukan
jati diri.
Saya, dalam
mencari jati diri kepenyairan melakukan sesuatu yang dinamakan “Riyadloh” atau
dalam bahasa pesantrennya “Tirakat”. Yah, itu semua menjadi jalan yang saya
pilih, riyadloh itu adalah Puasa.
Entah mengapa
puasa menjadi pilihan saya, mungkin karena dengan puasa saya lebih mudah
menemukan daya berkreasi atau berimkajinasi dalam keadaan lapar. Atau puasa
membuat hati menjadi tenang, jadi dalam berfikir dan bersikap akan lebih
terkontrol, dan itu menentukan puisi yang saya tulis.
Suminto A. Suyuti dalam
bukunya “berkenalan dengan puisi” mengatakan ;
puisi sebagai sosok pribadi penyair atau
ekspresi personal berarti puisi merupakan luapan perasaan atau sebagai bentuk
produk imajinasi penyair yang beroperasi pada persepsi-persepsinya. Itulah
sebabnya tidaklah mengherankan jika puisi disebut juga sebagai bahasa perasaan.
Artinya, bahasa dalam puisi sebagai sosok pribadi penyair lebih difungsikan
untuk menggambarkan, membentuk, dan mengekspresikan gagasan, perasaan,
pandangan dan sikap penyairnya.
Maka, dengan
berpuasa, saya merasakan saya yang lebih baik dari sebelumnya, saya menemukan
ketenangan bathin, kejernihan pikiran, dan keluasan imaijnasi. Dan kata-kata
yang saya keluarkan selalu baru dan bukan kata-kata yang sekedar estetis tetapi
juga etis.
Adapun puasa
yang saya kerjakan adalah puasa Ndawud, yaitu sehari puasa, sehari tidak.
Mengapa demikian? Saya lebih merasakan keadaan tubuh yang nyaman dengan
melakukan puasa ndawud ini. Ternyata ada penyair lain juga yang melakukan tirakat ini,
yaitu Ajip Rosidi. Terlihat banyak karya-karyanya yang memang bagus.
Sudah sekitar 3
tahun saya melakukan puasa Ndawud, hingga tulisan ini dibuat. Sebenarnya tujuan
awalnya adalah membersihkan diri dari kekotoran bathin dan juga untuk taqorub
kepada Tuhan. Namun, lambat laun saya menemukan sesuatu yang sangat berharga.
Keistiqomahan saya dalam berpuasa-berpuisi ini saya tulis dalam sebuah puisi
berjudul “meditasi katak”, ini adalah puisi pertama saya yang dimuat di media
massa, yaitu Minggu Pagi, N0 25 th 64 Minggu III September 2011.
Dalam
hujan yang tak berangin,
Seekor
katak berdiam dalam pesujudan panjang
Menunggui
pelangi yang belum juga
Menampakkan
batang hidungnya
Dan
saat air menetes di kelopak matanya
Ia
masih dalam diam
Bahkan,
mengencangkan tasbihnya.
Puisi ini dimuat
tepat saat saya tengah mengalami putus asa, lantaran sudah berpuluh kali
m,engirim puisi ke media, tetapi tak juga ada yang dimuat. Saat itu saya
mangkir dari kebiasaan saya setiap minggu pagi adalah datang ke alun-alun untuk
mengecek apakah puisi saya dimuat atau tidak, kali itu, saya memutuskan untuk
berdiam di pesantren karena saya tak yakin puisi saya akan dimuat, hingga
tiba-tiba, kawan saya wiwit mardiyanto mengirim pesan singkat bahwa puisi saya
dimuat hari itu. Betapa bahagianya saya, mendengar kabar puisi saya dimuat untuk
kali pertama, lalu saya memutuskan untuk pergi ke loper koran seketika itu, dan
mmebeli 3 buah koran. Salah satunya saya bawa pulang ke rumah untuk saya
tunjukkan ke pada ibu saya, dan benarlah bahwa ibu saya sangat merasakan
kegembiraan melihat nama anaknya dipampang di sebuah koran, ada embun keluar
dari tepi matanya. Semenjak itu, setiap karya saya dimuat di media apapun,
koran, majalah, buku antologi, saya selalu pastikan untuk menyerahkan 1 eksemplar
untuk ibu, alhasil, di rumah, ibu mengkoleksi semua tulisan-tulisanku yang
tersebar di media. Saat-saat menyerahkan karya ke ibu adalah saat saat
terindah—selain mendapatkan honorarium dari media tentunya.
Berawal dari
koran, puisi-puisi saya merembak ke majalah-majalah, lalu masuk buku antologi
komunal. Dari mulai puisi Cinta, sosial (dalam buku antologi “Bangga Aku Jadi
Rakyat Indonesia” diterbitkan Kosakatakita dan dijual di Gramedia, di dalamnya
beberapa nama seperti Dimas Arika Miharja, Acep Zamzam Noor, Izbedi Setiawan
YS, untuk menyebut beberapa nama, saya salah satu dari dua penyair termuda di
dalamnya), hingga puisi mbeling (buku antologi “Suara-suara yang
terpinggirkan”, di dalam buku itu beberapa nama Sastrawan Besar ada di dalamnya
sepeti Gus Mus, Remy Silado, Nugroho Suksmanto, Heru Emka, untuk menyebut
beberapa nama dan saya menjadi Penyair paling muda),Dari kumpulam-kumpulan
puisi itu juga, saya mulai mengenal dan akrab dengan penyair-peyair terkenal
seperti Dimas Arika Miharja, Kurniawan Junaedhi, Adri Darmaji Woko, Dharmadi,
Gunoto Saparie, Mustofa W. Hasyim, Susi Ayu, Handrawan Nadesul, Syam Chandra
Manthiek, Dhenok Kristianti, untuk menyebut beberapa nama saja. Lalu, saya juga
diundang untuk membacakan puisi di beberapa event sastra, salah satunya acara
Launching buku “Rendezvous” buku kumpulan puisi 10 penyair muda Jawa Tengah
tahun 2011, di Teater Arena, Taman Budaya Jawa Tengah, Surakarta. Di sana,
untuk pertama kalinya saya membacakan puisi di hadapan orang banyak, dan di
panggung yang disusun sedemikain rupa, mirip panggung untuk pentas teater, di
sana saya belajar banyak bagaimana para penyair membacakan puisi-puisinya.
Waktu pun
bergulir.
Saya, semakin mengakrabi
puisi. Semakin produktif pula saya menulis. Terus mengirim ke media, dimuat,
dan dibukukan komunal, semakin belajar pula membaca puisi yang baik, karena
setelah itu saya semakin sering diundang untuk membacakan puisi. Buku antologi
komunal kini lebih dari 13 buku, jumlah yang tidak sedikit, karena proses
kepenyairan saya belum genap 2 tahun, saya bersyukur atas pencapaian ini,
meskipun saya tidak boleh lantas puas dan sombong, semua itu memberikan
pelajaran baru buat diri saya. Lebih lanjut, saya juga pernah diminta menjadi
juri baca puisi tingkat Mts se-Kabupaten Banyumas, pengalaman yang cukup
menarik buat saya.
Kemudian, waktu
memperkenalkan saya pada event sastra besar, tahun 2012 awal, saya menjadi
salah satu peserta TSN 1, Temu Sastrawan NUMERA (Nusantara Melayu Raya) ke 1 di
Kota Padang, Sumatra, yang dihadiri sastrawan 5 Negara, yaitu Brunei
Darussalam, Thailand, Malasysia, Singapura, dan Indonesia. Ini adalah kali
pertama saya naik pesawat. Dan saya adalah satu-satunya perwakilan dari Jawa
Tengah- Jogja, yang lain berasal dari berbagai pulau di Indonesia. Di sana saya
bertemu pelaku sastra dari yang paling muda hingga peling tua, dari berbagai
pelosok negeri, juga sebagai kesempatan saya bertemu langsung dengan sastrawan
besar sealiber Korrie Layun Rampan, dan LK. Ara. Tak hanya itu, saya juga sempat
mengunjungi Rumah Puisi Taufiq Ismail di Bukittinggi, saya bisa bersalaman
langsung dengan beliau, betapa bahagianya saya, seperti mimpi, bisa bertemu
langsung dengan tokoh yang selama ini hanya saya dengar namanya lewat media
atau buku saja. Berfoto dengan beliau adalah kenang-kenangan paling indah yang
saya dapatkan, selain mendapatkan teman0-teman baru sesama sastrawan muda. Dari
perkenalan-perkenalan itu, maka saya pun makin menggeluti bidang sastra, baik
dunia nyata maupun dunia maya. Dalam dunia maya, saya memanfaatkan media situs
jejaring sosial Facebook, lebih dari 20 group kepenulisan saya ikuti, dari
sanalah saya mengetahui event-event sastra, juga proyek penggarapan buku secara
kroyokan (komunal), juga sebagai media saling sialturahmi dan bertukar
informasi dengan sesama kawan dengan saling memposting karya di dalamnya.
Facebook bagi saya adalah sebuah media apresiasi sastra yang sangat bermanfaat
dalam mengembangkan kepenyairan saya.
Lebih lanjut,
saat diadakan PEKSIMIDA (Pekan Seni Mahasiswa Daerah) Jawa Tengah tahun 2012 di
Surakarta, saya mewakili Kampus STAIN Purwokerto untuk kategori penulisan
puisi. Bersama sepuluh teman, saya berangkat ke Surakarta untuk melaksanakan
PEKSIMIDA, dengan niatan mencari pengalaman. Namun, Tuhan berkehendak lain,
tanpa disangka saya menjadi Juara 1 tangkai lomba penulisan Puisi mengalahkan 48
peserta dari 24 perguruan tinggi se-Jawa Tengah. BPSMI (Badan Pembina Seni
Mahasiswa) Jateng, beberapa setelah itu menghubungi saya untuk keperluan
administrasi berkenaan dengan pendelegasian untuk PEKSIMINAS (Pekan Seni
Mahasiswa Nasional) di Mataram, NTB. Subhanalloh, saya tak pernah membayangkan
sampai seperti itu, tapi berkat usaha dan doa, saya diberi kesempatan mewakili
JATENG dalam lomba berskala Nasional itu. Meski dalam event itu saya tidak
menjadi juara, tetapi saya merasa bersyukur karena diberi kesempatan Tuhan
untuk berkumpul dengan penyair unggulan provinsi se-Indonesia. Selain itu, saya
berkesematan berjabat tangan dan berfoto bersama dengan Sastrawan-sastrawan
terkenal seperti Putu Wijaya, Agus R. Sarjono, Acep Zam-zam Noor, dan Seno
Gumira Adji Darma.
Puisi dan cinta
Sebagian besar
puisi-puisi saya beraromakan “Cinta” sebagaimana judul buku kumpulan puisi
pertama saya “Nadhom Cinta”, buku yang diterbitkan oleh PesMa An Najah Press,
yang awalnya hanya sebuah mimpi mempunyai buku—ketika itu saya menuliskan
“kumpulan puisi Nadhom Cinta”di sesobek kertas dan saya tempel di meja belajar,
agar setiap saya mengambil buku, saya ingat dengat cita-cita saya itu—, namun
karena keyakinan saya dan tekad kuat saya, maka buku ini pun terbit,
Alhamdulillah. “Cinta” yang saya angkat dalam buku puisi itu mulai dari Cinta yang didefinisikan
sebagi Cinta Eros (birahi), Cinta phelia (kasoih sayang), Cinta Agope
(cinta sejati), Cinta starge (persahabatan), dan Cinta Hudus (gombal
semata) sebagaimana yang didefiisikan oleh Master Johnson (1985) dan Kolodny
(1985).
Puisi-puisi itu
sebagian besar berangkat dari pengalaman pribadi hingga hasil membaca
oranglain. Buku-buku tentang Cinta pun banyak saya baca untuk memudahkan saya
mendefiisak cinta dalam bentuk persajakan, juga puisi-puisi yang bertemakan
Cinta.
Bagi saya, Puisi
adalah sahabat yang paling setia, ia menemaniku di setiap fragmen hidup, dari
setiap duka, lara, bahagia, tawa, dan airmata. Setiap ke mana pun saya pergi,
selalu saya bawa kertas beserta pulpen—jika lupa maka cukup dengan hape—untuk
menuliskan puisi jika tanpa disangka menemukan moment puitik yaitu suatu
kedaan di mana kita tertarik atau timbul keinginan untuk menuliskannya dalam
bentuk puitik untuk menyimpan sebuah momen atau peristiwa tertentu.
Puisi-puisi saya
tidaklah jauh dari pesan-pesan cinta baik kepada Tuhan,manusia, binatang maupun
semesta. Itulah yang bisa terbaca dari puisi-puisi saya yang kental dengan
metafora-metafora segar seputar alam, semisal: embun, rembulan, pelangi, udara,
angin, sawah-sawah, mawar, hujan dan juga suasana seperti senja. Apakah harus
diksi-diksi itu untuk memuat puisi? Tentu tidak, puisi adalah proyeksi
kepribadian dan perasaan penyairnya, maka apa yang ada dalam puisi itu mewakili
atau sebagai miniatur penyairnya. Dalam ini, saya memilih diksi-diksi seputar
hal-hal yang romantis karena apa yang ingin kusampaikan juga sesuatu yang
membutuhkan keromantikan, yang bisa dinamakan bernafas cinta.
Nadhom Cinta,
yang merupakan antologi tunggal saya, mengambil tema besar cinta, hampir
kesemuanya adalah puisi-puisi cinta, buku itu merupakan usaha saya mengumpulkan
puisi-puisi yang sudah tersebar (baca; dimuat) di berbagai media seperti koran,
majalah, buletin, maupun jurnal, baik cetak maupun cyber.
Apakah harus
cinta? Dengan tegas saya jawab tidak. Puisi itu membahasakan perasaan maupun
pengetahuan seorang penyair, jadi menulis puisilah sesuai apa yang ada di hati,
tanpa ada paksaan dan tanpa ada obsesi mencapai sesuatu hal yang sebenarnya tak
perlu, yaitu “ingin menjadi”. Menulis puisi dengan meniru gaya orang lain
tidaklah bagus, tetapi menulis puisi yang sesuai dengan ke-diri-an penyair itu
sendiri. Akan terasa percuma jika menulis puisi bagus namun hasil plagiat atau
meniru-meniru.
Hampir semua
puisiku bernafaskan cinta, baik yang dimuat di koran, majalah, cyber, maupun
buku-buku kumpulan puisi. Dan saya sangat menyukai hal-hal yang romantis, juga
suasana suasana romantis seperti gerimis dan senja. Untuk itu, nama pena saya
adalah Dimas Indiana Senja. Meskipun awalnya saya kurang pede dengan nama
“senja” tetapi lambat laun orang-orang mengenalku dengan sebutan itu. Tetapi,
dalam karya yang saya publikasikan, saya tetap memakai nama asli Dimas Indianto
S. Dengan alasan, pertama nama itu pemberian dari orang tua, jadi lebih
mudah untuk mencari ridho orang tua, dan kedua nama itu sudah nyastra
kata banyak orang, saya pun tidak terlalu memikirkannya, yang penting adalah
bagaimana saya produktif menulis.
Sekarang, saya tak hanya menulis puisi, tetapi
belajar juga menulis cerpen dan esay, hasilnya, tak jauh dari tema “Cinta”.
Untuk cerpen saya pertama kali adalah dimuat di majalah MAYARA yang
diredakturi oleh Abdul Wachid B.S. saat itu saya menulis cerpen berjudul “Gerimis
di penghujung senja”, tentang dua insan yang dilanda cinta, namun prahara
berkecamuk dalam diri keduanya membuat harapan menyatu menjadi berkurang
meskipn pada akhirnya bisa bersama. Dan cerpen kedua saya adalah “Rinai Hujan
Baturraden” menceritakan sepasang kekasih yang berpisah karena salah satu di
antara mereka mempercayai sebuah mitos, dibukukan dalam “Nyanyian Kesetiaan”
diterbitkan Obsesi Press merupakan buku hasil lomba cipta cerpen Nasional yang
diadakan DEMA berkerjasama dengan LPM Obsesi tahun 2012. Sedangkan Esaiy, saya
baru mendokumentasikan satu-satunya esay yang pernah saya buat, yaitu
bertemakan tentang guru berjudul “Pak Guru melukis, Saya Menulis”, dibukukan
bersama 36 penulis, diterbitkan oleh UKM KIAS IKIP PGRI Semarang. Di esaiy itu
saya ceritakan perjalanan kepenyairan saya yang bermula dari kecintaan terhadap
lukisan, juga ungkapan terima kasih saya kepada sosok guru yang mengajariku
tentang etika dan estetika; Pak Agep.
Dari tulisan-tulisan
itulah saya meringankan beban orang tua, saya mulai bisa membeli perlengkapan
hidup, dari mulai pulsa, bensin, makanan, pakaian dan perlengkapan lain dengan
uang sendiri, dan itulah saat paling membahagiakan. Caranya adalah, setiap
karya yang diterbitkan media, saya selalu menyerahkannya kepada Pembantu Ketua
III STAIN Purwokerto, dan saya selalu mendapatkan imbalan dari sana. Selain sebagai
penulis sastra, saya juga seorang jurnalis yang terlahir dari LPM
OBSESI. Sekarang saya menjabat Pimpina nRedaktur Buletin “BENER” FKUB (Forum
Kerukunan Umat Beragama) Banyumas, dari sana saya mendapat tambahan penghasilan
dari menulis. Selain itu, kesibukan yang lain adalah tugas saya menjadi “Lurah”
di Pesantren Mahasiswa Kepenulisan AN Najah, Pesantren yang membesarkan nama
saya menjadi seperti sekarang ini, di sela-sela kesibukan itulah saya menulis,
dan mengisi beeberapa kegiatan di luar seperti mengisi workshop dan bedah buku,
semuanya saya lakukan untuk mencari pengalman dan pengetahuan baru.
Dan kini, nama
saya tidak hanya dikenal oleh pengamat sastra di Banyumas saja—sekalipun saya
dikenal sebagai Penyair Purwokerto—, tetapi berrbagai pengamat sastra dari
daerah lain, dan kini saya juga sudah menjadi bagian dari dua Dewan Kesenian
Kota, yaitu Dewan Kesenian kota Brebes, yang diketuai oleh Lukman, dan ia
menuliskan endorsmen di buku Nadhom Cinta dan Dewan Kesenian Kota Tegal,
diketuai oleh Nurhidayat Poso, sastrawan yang saya kenal lantaran bertemu pada
acara malam sastra di kediaman Alm. Piek Ardiyanto Soeprijadi.