Rabu, 26 Oktober 2011


Rongeng Dukuh Paruk; Antara Mitos dan Pesan Dalam Sastra
Banyak definisi sastra tatkala masing-masing sastrawan mencoba memberi makna terhadap proses kreatifnya sebab karya sastra mewujud dikarenakan semacam “laku” seorang sastrawan. Ia inheren dengan proses hidup sastrawan, karenanya ketika dalam hidupnya terjadi perubahan makna dari peristiwa yang diindera olehnya, dengan begitu makna yang pernah dikemukakan akan mengalami perubahan atau perkembangan. Sama halnya dengan definisi kebudayaan, selalu dimulai dan diakhiri dengan proses. Itulah pasalnya, kita belajar untuk mau mengerti, bahkan menilai baik, terhadap perubahan yang bermakna perkembangan dari karya sastra satu ke karya sastra yang lain, yang merupakan buah seorang sastrawan.
Karya sastra dapat kita persepsi dan posisikan sebagai suatu yang hidup dan bersentuhan dengan realitas sosialnya, dan merupakan bagian penting dari kebudayaan jamannya. Itulah yang dilakukan Ahmad Tohari, melalui karya sastranya, membahasakan pengamatannya—mengenai kebudayaan—dengan jalan tulisan. Ini seperti yang dikatakan A. Teeuw Bahwa sastra dikembalikan kepada makna etimologisnya adalah tulisan.  Kemudian mengingatkan saya pada Seno Gumira Ajidarma dalam bukunya berjudul Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara (1997) mengatakan bahwa menulis—sebagaimana yang dilakukan Tohari—merupakan suatu cara untuk bicara, suatu cara untuk berkata, suatu cara untuk menyapa—suatu cara untuk menyentuh seseorang yang lain entah dimana (Seno,1997:110).
Ahmad Tohari dalam karya-karyanya baik cerpen maupun novel, memiliki latar lingkungan hidup. Dunia pedesaan yang lugu, kumuh, bodoh, dan alami oleh Tohari diungkap secara menarik dan provokatif sehinga menunjukkan adanya keindahan, kedamaian, keharmonisan dan kejujuran sekaligus kepedihan yang menyayat, pemberontakan, konflik dan perdamaian.
Meski kebanyakan karya Tohari memiliki latar alam dan kehidupan desa, tetapi menurut Sapardi Djoko Damono bisa saja dunia ciptaan Tohari itu menjadi bagian yang sah dari kebudayaan Populer, sama dengan karya sastra populer lain yang umumnya berlatar kota besar. Hal ini disebabkan Ahmad Tohari bisa memoles tokoh, latar, dan peristiwa rekaannya (yang memilki dasar faktual historis) itu sedemikian rupa sehinga “indah”, skematis, dan gamblang. Ini yang kemudian Tohari tidak serta merta menuliskan—dalam novelnya Rongeng Dukuh Paruk—apa yang terjadi pada kesugguhan fakta, mengingat dalam menulis tentu seorang penulis tidak langsung membahasakan referensi bacaannya secara utuh, tetapi membubuhi dengan imajinasi baru yang mampu membuat sebuah tulisan lebih memiliki ruh—tidak sekedar menulis apa adanya, lantas apa bedanya novel dengan tulisan Sejarah?—.
Maka saya menganggap wajar, ketika Tohari dalam Rongeng Dukuh Paruk (RDP)nya meniadakan cerita makam Pangeran Samudro dan Dewi Ontrowulan dengan mitos “percintaannya”. Penulis berhak penuh mendesain karyanya agar sesuai dengan apa yang menjadi tujuan penciptaannya.
Dalam ini, Tohari ingin menyampaikan nilai budaya Profetik, maka akan sangat kontradiktif manakala dalam RDP diceritakan tentang mitos “bercinta” di area makam wingit—sebagai sebuah ritual—akan mendatangkan keberkahan dengan terwujudnya harapan seorang peziarah. Dengan menyimpangkan cerita—mengganti dengan makam Ki Secamenggala yang dikisahkan sebagai sesepuh yang sangat menyukai Rongeng—maka cerita akan lebih intergratif.
Tohari, dalam bebagai karyanya, merefleksikan secara simbolis budaya populer atau budaya kerakyatan yang sarat dengan nilai budaya profetik (kuntowijoyo, 1996:236). Menurut kuntowijoyo, budaya profetik memilki tiga Pilar yaitu amar ma’ruf (humanisasi), nahi munkar (liberasi), dan iman billah (transendensi).
Sebagai seorang yang terlahir dan dibesarkan di lingkungan santri, Tohari memegangi agama Islam tidak lepas dari tradisi lokal (jawa) sehingga muatan budaya lokal dalam berbagai karyanya amat jelas terbaca. Kepercayaan pra-islam pada masyarakat jawa yang Animis, Dinamis, Hindu dan Budha tetap dipandang Tohari dalam pandangan adat dan tradisi kebudayaan yang memiliki kearifan lokal (local wisdom) yang tidak akan dibongkar dan diberangus jika tidak bertentangan dengan ajaran islam (al-akhlaq al-karimah). Sinkretisme dan kepercayaan mistik tidak diposisikan sebagai bid’ah yang bertentangan  dengan Islam tetapi diposisikan sebagai tradisi yang masih bisa diislamkan dan memberi manfaat, sekecil apa pun manfaat tersebut bagi kemanusiaan.
Sebagaimana kebanyakan para ahli antropologi, Tohari berpendapat bahwa manusia tidak dapat hidup tanpa mitos atau mitologi. Mitos diperlukan manusia dalam mencari kejelasan tentang alam lingkungannya dan sejarah masa lampaunya sebagai pelukisan atas kenyataan-kenyataan—yang tak terjangkau, baik relatif maupun mutlak—dalam format yang disederhanakan dan mudah dipahami. Itulah mengapa Tohari masih membubuhkan mitos di dalam karyanya. Hanya saja, ada sedikit penyimpangan—lagi-lagi untuk memperkuat tujuan penciptaan sebuah karya—.
Mitos, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat diartikan sebagai Cerita suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan zaman dahulu, mengandund penafsiran tentang asal-usul semesta alam, manusia dan bangsa tersebut, mengandung arti mendalam yang diungkapkan dengan cara gaib (Gramedia;2008).
Tohari memaparkan dengan gamblang bagaimana “ki Secamenggala”, leluhur masyarakat Dukuh Paruk menjadi rujukan perilaku masyarakat desa terkait dengan ronggeng, perilaku ritual dan sosial, dan perjuangan akan kehormatannya. Pencitraan “ki secamengala” menjadi referensi poetika yang mengisyaratkan kepatuhan masyarakat terhadap sebuah mitos, yang akhirnya membawa kebaikan baik bagi ronggeng maupun masyarakat Dukuh Paruk  itu sendiri. Dan mitos ini menjadi penguat ruh kejawen, biarpun yang diangkat adalah masalah budaya profetik. Jika saja yang diangkat adalah “makam Pangeran Samudro dan Dewi OntorWulan”, maka mungkin masyarakat akan mengikuti tradisi “percintaan” di area makam—sebagai wujud kepatuhan masyarakat jawa terhadap leluhur mereka—, dan cerita menjadi ganjil. Tidak ada hubungan antara Srintil yang berjuang dengan Rongengnya, Ronggeng Dukuh Paruk itu sendiri dan kebiasaan masyarakat jawa nguri-nguri budaya nenek moyang.
Sebaliknya Mitos “percintaan” sebagai ritual tidak sesuai dengan budaya profetik yang menjadi latar RDP. Budaya Profetik melalui pilar ransendensinya, mengarahkan manusia untuk mendekatkan diri dengan tuhannya (taqorrub), bukan malah melakukan tindakan yang bertentangan dengan ajaran islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar