Jumat, 25 November 2011

puisi yang memenuhi 1 box kolom puisi rubrik sastra koran MERAPI edisi 20 November 2011


Gadis Bersampan
                                ; Pemecah Ombak Waduk Penjalin

Gadis bersampan, berjalan di dalam pusaran angin yang embun.
Matanya menerobos kabut yang menutupi hatiku,

Ketika fajar belum sempurna bertelanjang, gadis bersampan
Lebih dahulu membenarkan kerudungnya, lalu
Lengannya yang salju menuju dayung-dayung yang telah lama
Membuatku rindu.
                                    “Gadis bersampan”
Begitulah namanya yang melintasi lamunanku sore ini,
Biasanya tepat matahari menuju ujungnya, ia pulang dengan
Menjinjing tas berisikan impian-impiannya,
Berisikan lamunannya,berisikan
Mimpinya yang menghadirkanku.
                                    “Gadis bersampan”
Begitulah biasanya aku sebut-sebut namanya, tersebab ia
Tak pernah sekalipun berpaling dari terik kerinduan
Dan aku menemukan rambut panjangnya telah basah di atas sebuah sampan.
Sampan yang mengajakku untuk menuju rumahnya, lalu
Aku berharap di dalam semoga.
                                    “Gadis bersampan”
Begitulah selalu aku menyeka namanya dalam hatiku
Yang kabut. Tak pernah sekalipun ia berhenti dari
Perjalanan mimpi yang ombaknya tak berkawan.
Hingga keringatnya mengkristal,                   
Jatuh,
            Memenuhi permukaan segara
Mengendap-endap dalam ombak
                                    Mendekap mimpi di dalam dayung
                                                Berkilauan, dan
                                                            Bola mataku berkilap
Tak kuasa aku  menatap cahaya, Gadis bersampan.
                        Paguyangan, juni 2011



















                        Kabut
                                    Sepanjang  Jalan  Menuju  Kali Gua
Aroma fajar
Pudar, melebur bersama
Dingin embun yang
Paling. Kau tabuh genderang rindu yang membuncang !
Kepada siapa alamat kau bersurat sebenarnya?

Adakah aku yang kau tuju?
Padahal  aku belum kau kenal betul.

Dalam kaca yang buram tersebab embun
Yang rindang, ku temukan
Namamu tertulis dalam sekaanku
Diatas daun talas yang
Menampung puisi-puisi pagi.

Aroma fajar
Hilang, ke entah mana.
Dingin kembali bersapa
Riang dengan celotehan-celotehan
 Beburung pagi yang
Mengatasnama Cinta.

Dan, Aku menemukan rindu
Dalam kabut yang selimut.
                        Paguyangan , mei 2011
Senja di lorong jembatan
            :Brug Saka Limalas

Senja ini, ada warna yang
Hilang dari pelangi yang berkibar
Di Langit Bumiayu

Hujan tak lagi merintikkan cahaya
Yang apabila berjumpa dahan basah
Berkeliplah bola mata yang selama ini
Terpaut  cinta

Ilalalang pun kehilangan hijaunya
Tidak mampu lagi
Menari bersama angin

Senja kehilangan lembayung orangenya
Seperti aku yang kehilangan namamu
Yang memupus menjadi metafora puisi.

Bumiayu, feb2011






Dalam kuasa senja
            ; Menuju Bumijawa

Dalam pengembaraanku di bukit puisi,
Tampak sebuah istana megah
Menyeruakan do’a dan cinta

Bersama angin kita membagi semerbak mawar
Yang dahulu kau mengajariku
Untuk menanamnya

Terik tak jadi soal sepanjang langkah kita
Pepohonan yang menyebut-nyebut nama kekasih
Menjelma teman dalam mimpi kita yang dingin

Dan, bayangan kita memunguti daun-daun jatuh
Yang mengembunkan warna surga,
Sepanjang lorong mata kita,

: Saat Pelangi dan gerimis bercinta
 dalam kuasa senja.

Tegal, Maret 2011


Tidak ada komentar:

Posting Komentar